sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur
tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, kerabat luas,
saudara semarga maupun beda marga serta masyarakat umum. Status marga dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba memegang peranan yang sangat penting, alasannya yaitu:
- Sebagai identitas, menunjukkan baik satuan-satuan yang lebih kecil (‘kelompok kecil’) maupun yang lebih besar (‘marga induk’), dan juga kelompok-kelompok yang paling besar (‘cabang marga’).
- Sebagai status, dalam hal ini berkaitan dengan sistem Dalihan Na Tolu
- Sebagai penerus marga, dalam hal ini lebih diutamakan adalah anak laki-laki, karena dalam adat Batak Toba masih menganut sistem patriarkhal.
Secara umum masyarakat Batak Toba bersifat patriarkhal. Itu berarti marga yang menjadi
identitas dari orang Batak Toba diturunkan dari pihak laki-laki/Ayah. Sebuah marga tidak akan
terputus apabila sebuah keluarga mendapatkan anak laki-laki, karena anak laki-laki itulah yang
akan meneruskan kembali marga tersebut kepada keturunannya, sehingga marga itu tetap
bertahan. Sadar atau tidak, budaya patriarkhal tersebut telah mejadi bagian dalam diri seseorang
dan ikut mempengaruhi pola pikir dan sikap seseorang.
Pada sebagian orang, nilai-nilai dan sistem tradisional yang merupakan warisan leluhur
mengendalikan sikap mereka. Dan seringkali budaya yang telah tertanam dalam diri seseorang
akan sangat sulit untuk dilepaskan bahkan terus dilakukan dalam kehidupan manusia sehari-hari
karena dianggap sebagai sesuatu yang baik. Tradisionalisme adalah suatu sikap dan pandangan
yang memuja-muja, menjunjung tinggi lembaga-lembaga dan kepercayaan dan masa lampau.
Kepercayaan dan kebiasaan lama dianggap benar, kekal dan tidak berubah, penduduk melakukan
segala sesuatu sama seperti yang dilakukan sebelumnya. Tata kehidupan orang Batak Toba juga
di atur di dalam sistem adat istiadat yang telah dimiliki sejak ratusan tahun dari nenek moyang.
Aturan-aturan yang menjadi adat tersebut bermuatan sangsi bila dilanggar. Dalam keyakinan
kosmologis orang Batak Toba, adat istiadat bersumber dari yang illahi (merupakan manifestasi
tatanan illahi dalam kehidupan di dunia dan bersifat abadi). Adat dan hukum tidak mungkin
diubah. Melawan atau melanggar adat akan mengakibatkan kekacauan dan kehancuran. Adat
yang diturunkan, berasal dari nenek moyang, dimana dalam kehidupan orang Batak Toba nenek
moyang dianggap sebagai Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan yang memulai segala sesuatu),
karena di anggap terlebih dahulu memiliki dan menguasai bumi selayaknya Debata Mulajadi Na
Bolon. Sehingga masyarakat Batak Toba sangat menghormati Adat yang dipercaya langsung
diturunkan dari Debata Mulajadi Na Bolon (nenek moyang mereka). Menghormati nenek
moyang mengandung makna menyembah Debata Mulajadi Na Bolon. Petuah-petuah nenek
moyang terus dijalankan secara berkesinambungan generasi demi generasi. Pelanggaran terhadap
adat, akan menyebabkan kemurkaan roh nenek moyang. Dengan perkataan lain, kesetiaan dan
kecintaan kepada roh-roh nenek moyang orang Batak Toba merupakan perilaku religius. Itu pula
sebabnya, masa kini dan masa depan harus senantiasa mendapat acuan dari masa lampau yaitu
kehidupan nenek moyang.
Dalam kebudayaan Batak Toba ada istilah yang dikenal dengan nama Dalihan Na Tolu (Tungku
Nan Tiga). Dalihan Na Tolu dinilai sebagai suatu sistem dimana ada persyaratan fungsional yang
harus dipenuhi dengan tujuan melakukan adaptasi, memelihara pola kehidupan masyarakat dan
mempertahankan kesatuan orang Batak Toba, disamping itu dengan adanya Dalihan Na Tolu ini
diharapkan adanya keseimbangan. Hal ini terwujud dalam umpama: “Somba Marhula-hula”
(hormat pada hula-hula), “Manat mardongan sabutuha” (berlaku hati-hati kepada saudara
semarga), “Elek Marboru” (berlaku sayang kepada boru). Hal ini yang selanjutnya
dimanifestasikan di dalam pola prilaku untuk mewujudkan Hamoraon (upaya mencari
kekayaan), Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur), dan Hasangapon (kehormatan dan
kemuliaan).
Ada kecenderungan pada orang Batak Toba, sekalipun telah lebih kosmopolitan lebih dari satu
setengah abad dan banyak berpindah ke kota meninggalkan kampung halamannya, sikap-sikap
dasar maupun ideologi terhadap adat ternyata tidak berubah. Di kota tempat orang Batak Toba merantau, mereka membentuk sebuah asosiasi klan yaitu semacam perkumpulan orang-orang
yang bermarga sama, dalam tradisi suku Batak, memang tidak identik dengan marga dalam
pengertiannya yang asli. Tujuannya untuk mempertahankan dan melestarikan adat yang sudah
mereka miliki.
Tentunya dalam kehidupan perantauan kita tidak hanya bertemu dengan masyarakat yang berasal
dari suku yang sama, tetapi kita bertemu dengan masyarakat lain dari suku dan ras yang berbeda.
Jika dikaitkan dengan perkawinan maka ada hal-hal yang harus diperhatikan. Dalam kehidupan
orang Batak Toba, kecenderungan untuk memilih pasangan suami atau pasangan istri yang
berasal dari kalangan atau suku yang sama, adalah harapan setiap orang Batak Toba yang mau
menikah. Dikarenakan bahwa pernikahan dalam adat Batak Toba bukan hanya menyatukan dua
pribadi dalam satu ikatan tetapi juga menyatukan dua keluarga sekaligus. Sebagai contoh:
apabila seorang pria Batak Toba yang bermarga Marpaung menikah dengan seorang wanita yang
bermarga Silaban, maka bukan hanya pria Marpaung dan wanita Silaban saja yang memiliki
ikatan tetapi seluruh keluarga besar, baik pihak keluarga Marpaung maupun pihak keluarga
Silaban. Tujuannya adalah supaya masing-masing pihak mendapatkan posisi dalam sistem adat
Dalihan Na Tolu (baik itu somba marhula-hula, manat mardongan tubu maupun elek marboru)
sehingga Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon dalam kehidupan mereka dapat terwujud.
Inilah yang menjadi harapan setiap orang Batak Toba, meskipun ada alasan-alasan lain yang
terlontar tapi hal yang paling utama adalah seperti yang sudah disebutkan di atas. Akan tetapi
timbul permasalahan dimana ketika seorang Batak Toba, mendapatkan pasangan yang berasal
dari luar suku Batak Toba. Yang akan terjadi selanjutnya adalah ketika seorang Batak Toba
hendak menikah dengan pasangannya yang berasal dari luar Batak Toba, terlebih dahulu
pasangannya yang non Batak Toba diberikan marga melalui adat, supaya apa yang diharapkan
dapat terwujud. Disamping itu pasangan yang non Batak tersebut akan mendapatkan pengakuan
di dalam keluarga dan adat dan posisi dalam Dalihan Na Tolu. Jika tidak diberikan marga kepada
pasangan yang non Batak tersebut, maka ia tidak akan diakui di dalam adat (meskipun di dalam
keluarga di terima) dan juga tidak mendapatkan posisi. Pemberian marga dalam adat Batak Toba
tentu saja tidak hanya pada saat pernikahan, melainkan ketika seseorang memiliki hubungan baik
dengan teman atau sahabat, maka orang tersebut dapat ‘dinaturalisasikan’ menjadi seseorang
yang bermarga. Proses pemberian marga itu sendiri melewati upacara adat khusus dan hukumnya
(orang yang diberikan marga) adalah sama kuat keanggotaannya berdasar “pertalian darah”.
Akan tetapi dalam kenyataannya peristiwa tersebut diatas menimbulkan dampak yang cukup
berpengaruh dalam kehidupan berelasi antara masyarakat Batak Toba dan orang non Batak Toba.
Melalui topik pembahasan dalam skripsi ini, akan coba ditemukan permasalahan sesungguhnya,
hubungan antara memberikan marga dalam adat Batak Toba dengan relasi antara masyarakat
Batak Toba dan masyarakat non Batak Toba.
0 komentar:
Posting Komentar