Bagi pengguna media sosial, memeriksa akun media sosial adalah sebuah aktivitas
yang lazim dilakukan. Namun, ketika pengguna menata akun media sosial, yang pengguna
lakukan sebenarnya sedang menata wajah atau penampilannya di dunia maya. Ketika
melakukan penataan terhadap tema atau warna halaman depan di media sosial kita, maka kita
seakan-akan sedang memilih pakaian yang mana atau warna apa yang cocok dengan diri
sendiri. Begitu pula ketika pengguna hendak melakukan pembaharuan status atau menulis di
akun media sosial, maka pengguna pun mengalami proses selayaknya ingin mengungkapkan
sesuatu kepada lawan bicara yang sedang ada di depan kita. Apalagi, bagi pengguna yang
menyadari bahwa audiens (atau pengguna lainnya) tidak hanya satu atau dua orang melainkan
berpotensi sangat banyak (selayaknya sekumpulan massa). Penataan media sosial akan
menjadi sebuah tindakan yang tidak serta merta spontan, tetapi melalui sebuah ‘meja
editorial’ di dalam dirinya sendiri.
Setiap orang memiliki harapan untuk bisa menjadi sebuah sosok impian. Sosok impian
yang bisa saja berdasarkan kebutuhan dirinya sendiri, karena melihat-lihat kondisi sekitarnya,
atau berdasarkan konstruksi pribadi. Berdasarkan figur impiannya tersebut, setiap individu
akan menata dirinya dengan berbagai cara baik itu dari cara berbicara, pemilihan kata-kata,
cara berpakaian, peralatan teknologi yang dimiliki, teman atau kelompok yang dipilih,
kegiatan yang diikuti, dan tempat makan/minum yang dipilih. Bagi seorang anak muda yang
sangat memimpikan untuk menjadi seperti sosok artis tertentu, maka dia akan menata dirinya
baik itu pakaian, kata-kata, dan berbagai elemen untuk mencapai figur tersebut. Bagi seorang
yang ingin menampilkan diri sebagai seorang profesional muda, maka tentulah dia akan
menata dirinya sesuai dengan sosok profesional muda yang dia harapkan. Singkatnya, hampir
semua wadah bisa dipakai oleh setiap individu untuk melakukan penataan terhadap dirinya.
Dengan demikian, ketika media sosial hadir, maka media sosial pun bisa digunakan sebagai
sebuah wadah untuk melakukan penataan diri.
Terlepas dari adanya pro dan kontra kehadiran media sosial, media sosial bisa difungsikan sebagai revitalisasi hubungan sosial diantara sesama pengguna. Media sosial bisa menjadi tempat bertemu secara maya untuk keluarga, sahabat, atau kolega yang terpisah jarak dan waktu. Media sosial bisa menjadi ‘rumah’ atau ‘ruangan’ untuk melakukan interaksi satu sama lain. Adanya media sosial membuka kesempatan untuk setiap individu bisa menjadi pengirim dan sekaligus penerima. Hanya dengan bermodalkan akses ke dunia maya, lalu membuat akun di penyedia jasa media sosial, maka setiap individu sudah memiliki sebuah media yang bersifat one-to-many.
Kehadiran media sosial tidak berbayar, yang sekarang sudah sangat bervariasi, membuat penggunaan media sosial menjadi suatu praktek yang lumrah. Tanpa memerlukan keahlian khusus bahasa pemrograman, memanfaatkan media sosial menjadi sangat mudah (user friendly). Sehingga hampir semua kalangan pun menjadi familiar dengan media sosial ini. Pemilik warung kopi bisa memperbaharui status bahwa pukul 13.00 buka, seorang siswa SD bisa memperbaharui statusnya sedang bermain bola, artis bisa memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah, ada figur-figur tertentu yang memberikan informasi terkait pemerintah yang jarang diungkapkan di media, politisi juga bisa memperpanjang jaring aspirasinya, pemain sepakbola bisa melakukan jumpa penggemar, dan berbagai kalangan lainnya.
Kemutakhiran teknologi media sosial di sisi konvergensi media, hyperteks, dan simulasi membuat media sosial ini semakin diminati. Bahkan, mobile application untuk media sosial ini membuat setiap orang bisa menggunakan dimana saja dengan bermodalkan telepon selular (termasuk smartphone) sepanjang ada jaringan.
Beragam praktek bisa dilakukan oleh setiap individu terhadap media sosial, namun yang perlu kembali diperhatikan adalah media sosial itu bisa dianggap sebagai ‘rumah’ atau diri sendiri di dunia maya. Setidaknya perkembangan teknologi sampai saat ini memungkinkan kehadiran pengguna di media sosial hanya masih sebatas representasi dirinya (terkadang dipakai istilah virtual self, digital me, virtual me, virtual identity), belum sampai pada level diri seutuhnya yang berada di dalam media sosial.
Tentunya berbagai kajian mengenai fenomena ini telah menarik perhatian beberapa
pakar komunikasi, namun salah satu area yang bisa menarik perhatian adalah presentasi diri.
Berawal dengan pemikiran bahwa manusia adalah aktor dalam panggung kehidupan ini, maka
tentulah apa yang ditampilkan di panggung akan berdasarkan penataan. Seiring dengan
perkembangan medium, setiap individu (menjadi pengguna) akan memasuki presentasi diri
yang termediasi. Apalagi, jika kesempatan mempresentasikan diri ini berada pada konteks
media sosial. Sekilas terlihat bahwa kehadiran media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog
dan LinkedIn memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap individu (user) untuk
berkreasi, khususnya dalam menampilkan diri masing-masing.
Bagi pengguna media sosial, memperbaharui status, membuat tweet, menulis di wall
sudah bukan barang yang baru lagi. Apalagi dengan memodifikasi profil dengan berbagai
macam foto maupun gambar. Aktivitas ini bisa dikatakan sebagai aktivitas penataan tampilan
diri. Dimana setiap orang memiliki langkah-langkah khusus untuk menampilkan dirinya
kepada orang lain atau khalayak. Langkah-langkah khusus ini tentunya akan sangat bervariasi
jika melihat sepintas pada akun-akun media sosial setiap individu. Ada berbagai jenis
penampilan diri yang bisa terlihat secara kasat mata yaitu menuliskan kata-kata bijak di status
maupun tweets, menyampaikan kritik, mengkomunikasikan kondisi pribadi saat ini,
menyampaikan aktivitas dan lokasi saat ini, dan berbagai cara lainnya. Selain kata-kata,
presentasi diri juga dikombinasi dengan video, gambar dan foto seperti foto-foto di berbagai
lokasi, foto bersama figur publik: seperti pejabat negara, pakar atau ahli, aktor/artis, dll, foto hasil karya sendiri. Berbagai jenis ekspresi yang dilakukan oleh pengguna media sosial akan
mengerucut pada jenis-jenis strategi presentasi diri.
Dengan demikian, pada bagian ini akan membahas mengenai peran media sosial bagi
pengguna untuk melakukan presentasi diri. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan strategistrategi
pada umumnya yang dipakai untuk melakukan presentasi diri.
Pembahasan
Media sosial
Sesuai dengan namanya, media yang tergolong dalam media sosial ini memiliki fungsi
untuk mendukung interaksi sosial penggunanya. Dalam konteks ini, media sosial bisa
digunakan untuk mempertahankan/mengembangkan relasi atau interaksi sosial yang sudah
ada dan bisa digunakan untuk mendapatkan teman-teman yang baru. Menurut Van Dijk
(2006:31), mengutip apa yang dilakukan oleh Stanley Milgram, rata-rata setiap elemen dalam
sebuah unit akan saling berkaitan menurut six degrees of separation, yang menyatakan bahwa
manusia dapat terhubung dengan manusia lain dengan paling banyak enam orang yang saling
berkaitan.
Sejak kemunculan classmates.com dan sixdegrees.com di pertengahan tahun 1990-an,
maka berbagai jenis media sosial mulai bermunculan dan bahkan sudah spesifik ke bidangbidang
tertentu. Hal ini terlihat dengan adanya media semacam Facebook, Twitter, LinkedIn
(mengkhususkan untuk bisnis dan profesional), devianART (mengkhususkan ke digital art),
Wayn dan CouchSurfing (travelling), Flickr (berbagi foto), dan beberapa lainnya. Dengan
adanya perkembangan yang pesat ini, pengguna mendapatkan kesempatan yang seluasluasnya
untuk memaksimalkan tujuan berintekasi sosial ataupun melakukan pengembangan
dirinya.
Media sosial pun merambah sampai pada alat untuk menggerakan massa. Masih
terlintas bagaimana gerakan satu juta facebookers dan gerakan mengumpulkan koin yang
berhasil membuat massa melalukan tindakan kolektif. Begitu pula dengan adanya komunitas komunitas yang dibentuk di dalam media sosial, yang baik komunitas yang telah ada maupun
komunitas yang terbentuk khusus karena adanya pertemuan di dunia maya.
Kehadiran media sosial membuat setiap orang berpotensi untuk menjadi komunikator
massa. Setiap individu berpotensi untuk menyampaikan berbagai kejadian di belahan bumi tanpa harus membawa beritanya ke meja redaktur atau editor. Simak saja kejadian yang
terjadi di Moldova atau pun di Iran. Begitu pula, kejadian di sekitar kita seperti jalanan macet,
adanya peristiwa tidak terduga, dan berbagai kejadian lainnya. Seakan-akan, media sosial
hadir untuk melengkapi atau menandingi media massa yang sekarang beroperasi.
Media sosial bisa dipakai untuk menunjuang aktivitas rutin pengguna atau aktivitas
lainnya. Beberapa perusahaan atau individu menggunakan media sosial untuk melancarkan
aktivitas bisnisnya. Untuk media sosial yang berbasiskan bakat dan minat, media sosial bisa
dipakai sebagai wadah untuk saling berbagi karya dan memberi masukkan. Terkait dengan
presentasi diri, media sosial tentu mewajibkan setiap pengguna untuk memiliki akun. Akan
tetapi, konstruksi profil akun setiap orang akan menyesuaikan dengan cara orang tersebut
mempresentasikan dirinya. Cara mempresentasikan diri sesuai yang dinginkan oleh setiap
orang bisa difasilitasi dengan leluasa oleh media sosial.
Salah satu yang menarik dari media sosial adalah sesama pengguna akan memiliki
konstruksi identitas masing-masing. Bagi sesama pengguna yang belum saling mengenal atau
belum berteman di dunia nyata, mereka akan saling membayangkan profil berdasarkan
elemen-elemen yang ada di akun masing-masing. Sementara untuk sesama pengguna yang
sudah saling mengenal, proses melakukan imajinasi terhadap pengguna yang lain sudah tidak
berada lagi pada level ‘siapa dia’ tetapi pada level ‘sedang apa’. Misalkan jika dua orang
teman sekelas yang sudah saling mengenal, maka dalam media sosial mereka lebih
memfokuskan komunikasi pada sedang melakukan apa atau apa yang sedang terjadi pada
dirinya.
Presentasi Diri
Pada dasarnya, setiap orang memiliki langkah-langkah khusus dalam
mempresentasikan dirinya kepada orang lain. Dalam karyanya berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, Erving Goffman (1959) menyatakan bahwa individu, disebut aktor,
mempresentasikan dirinya secara verbal maupun non-verbal kepada orang lain yang
berinteaksi dengannya. Presentasi diri atau sering juga disebut manajemen impresi
(impression management) merupakan sebuah tindakan menampilkan diri yang dilakukan oleh
setiap individu untuk mencapai sebuah citra diri yang diharapkan. Presentasi diri yang
dilakukan ini bisa dilakukan oleh individu atau bisa juga dilakukan oleh kelompok
individu/tim/organisasi (Boyer, dkk, 2006:4).
Seorang kameraman yang handal akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa
mengambil gambar dengan angle terbaik, moment yang tepat, dan kualitas gambar yang baik
untuk menjaga kompetensinya. Seorang yang bekerja di bidang Public Relations akan
berupaya sebaik mungkin untuk mempresentasikan dirinya sesuai dengan budaya
perusahaannya. Untuk menjadi teman yang baik, seseorang akan berupaya untuk berusaha
mempresentasikan dirinya dengan cara yang sesuai dengan harapan teman-temannya. Untuk
menjamin kompetensinya, seorang fotografer akan berupaya untuk menampilan karya-karya
terbaiknya kepada orang lain. Dengan berbagai tujuan, setiap individu akan berupaya untuk
mengkonstruksi dirinya dengan cara yang sesuai dengan karakteristiknya.
Jika presentasi diri ini dibawa dalam kehidupan virtual, dalam hal ini di World Wide
Web, maka terbentuk sebuah identitas virtual (Virtual Identity). Identitas virtual yang
terbentuk bisa sangat bervariatif. Bahkan, format teknologi Web 2.0 dan kemajuan media
baru membuat identitas virtual merupakan sebuah proses yang terus menerus selayaknya
proses yang terjadi di dunia nyata (Lister dkk, 2009:269). Identitas juga menjadi salah satu
fokus dari Haraway (1991) mengenai perpaduan antara manusia dengan teknologi yang
tergambarkan dalam cyborg. Selain itu, identitas juga bisa dilihat dari sisi mengkonstrusi
kembali identitas diri maupun komunitas (Turkle, 1997).
Presentasi diri yang terjadi di dalam new media akan berbeda-beda berdasarkan jenis
mediumnya. Jika medium tersebut adalah homepage pribadi, maka presentasi diri akan terjadi
lebih konstan dan tetap. Hal disebabkan frekuensi untuk melakukan perubahan-perubahan di
dalam medium tersebut tidak terlalu tinggi. Kondisi yang berbeda muncul ketika mediumnya
adalah Twitter, microblog. Pengguna Twitter mempresentasikan dirinya melalui biografi
singkat dan tweets. Tweets merupakan salah satu cara yang paling dominan di dalam Twitter
untuk mempresentasikan diri. Sementara tweets ini, yang bersifat dinamis dan interaktif,
mengalami perubahan yang sangat cepat dari waktu ke waktu. Sehingga, medium seperti
Twitter membuat presentasi diri berlangsung lebih dinamis (Marwick & Boyd, 2010:2-3).
Media Sosial dan Presentasi Diri
Ketika mengkaitkan antara media sosial dan presentasi diri, bisa terjadi pandangan
yang cukup kontradiktif. Di satu sisi, presentasi diri yang berakar dari interaksi tatap muka
antar individu memandang presentasi diri melalui media sosial akan menghilangkan elemen
non verbal komunikasi dan konteks terjadinya komunikasi. Sehingga presentasi diri tidak
maksimal di dalam media sosial. Di sisi lain, ketidakhadiran elemen-elemen non verbal dan
konteks bisa dipandang sebagai sebuah kondisi bagi pengguna untuk lebih mudah mengontrol
dan/ atau minimal dalam melakukan presentasi diri. Sehingga ketiadaan elemen-elemen
nonverbal bisa membuat komunikasi tidak berjalan cukup ‘kaya’. Namun, pada saat yang
sama setiap pengguna mendapatkan kesempatan untuk lebih inventif dalam melakukan
presentasi diri (Papacharissi, 2002:644-645).
Dari sisi medium, ekspresi non verbal maupun konteks bisa dijembatani dengan
adanya aplikasi khusus yang bisa melambangkan ekspresi. Emoticons, animasi, simulasi,
hypertext dan kata atau simbol tertentu bisa digunakan untuk menggambarkan ekspresi.
Dengan demikian, terkadang kemampuan untuk melakukan kreasi terhadap media sosial yang dipakai bisa membuat ketiadaan ekspresi non verbal menjadi tidak terasa. Sebagai contoh,
jika ingin memberikan senyum, maka biasanya di ketikkan tanda “:” dan “)”, jika ingin
tertawa biasanya diberikan tanda “:” dan “D”, untuk mengungkapkan tertawa dengan “LOL”
= laugh out loud , dan untuk menggambarkan konteks biasanya di tambahkan elemen
*ngakak*, *loncat-loncat*, *cross finger* dan berbagai kreasi lainnya yang dipakai.
Selain itu, kehadiran kajian presentasi diri di media baru sudah dilakukan oleh
beberapa orang. Luik (2010:402) menemukan bahwa terdapat beberapa kajian yang
memfokuskan pada blog. Dominick (1999) memulai kajian presentasi diri ke World Wide
Web dengan mengukur strategi presentasi diri pada web pribadi. Papacharissi (2002)
melakukan eksplorasi mengenai pemanfaatan personal home page sebagai tempat presentasi
diri. Bortree (2005) melakukan studi etnografi pada blog remaja wanita. Trammell &
Keshelashvili (2005) melakukan kajian mengenai presentasi diri di A-list blogger. A-list
blogger adalah istilah untuk daftar blog yang masuk dalam peringkat atas dari sisi akses.
Ellison dkk (2006) melakukan studi presentasi diri pada situs kencan (online dating). Boyer
dkk (2006) melakukan studi presentasi diri berbasiskan etnis. Boyd dan Heer (2006), dalam
Papacharissi (2009), melakukan studi presentasi diri pada profil di Friendster. Marwick dan
Boyd (2010) melakukan kajian bagaimana pengguna Twitter membayangkan audiensnya.
Presentasi diri juga tidak tertutup pada media baru lainnya sepeti game online.
Selain digunakan oleh pribadi, presentasi diri atau manajemen impresi bisa dilakukan
dalam konteks organisasi atau institusi. Seperti yang dikutip oleh Boyer dkk (2006), Niven
dan Zilber (2001) pernah melakukan kajian pada website anggota kongres. Mereka
menemukan bahwa anggota kongres wanita lebih memprioritaskan konten web mereka pada
isu-isu mengenai wanita. Sementara Miller dan Arnold (2001) memfokuskan kajiannya pada
website akademisi, khususnya akademisi wanita. Boyer dkk sendiri melakukan kajian
mengenai presentasi diri berdasarkan etnis di website perguruan tinggi. Bahkan, presentasi diri pun pernah dilakukan dalam konteks web beberapa negara seperti yang pernah dilakukan
oleh Shaheed (2004).
Dalam presentasi diri, media sosial dipandang sebagai perpanjangan diri pengguna.
Seperti yang diutarakan oleh McLuhan (1965) bahwa medium adalah perpanjangan indera
maupun sistem saraf manusia. Pengguna media sosial akan menata media yang dipakai
selayaknya sebuah ‘ruang tamu’, bahkan ‘kamar’, bagi para pengunjungnya. Joseph
Dominick (1999:646) pernah melakukan penelitian mengenai presentasi diri di website
pribadi. Dalam studinya itu, dia mengutip pandangan beberapa pakar mengenai website
pribadi. Rubio memandangnya sebagai sebuah open house dimana pemiliknya tidak pernah
muncul. Erickson membandingkan website tersebut sebagai resume/biodata informal yang
berisi informasi pribadi. Chandler menjuluki website tersebut sebagai mengiklankan diri
sendiri (self-advertisement). Burns mengatakan bahwa website tersebut sebagai kartu nama di
abad ke-21.
Hal ini menjadi masuk akal ketika melihat praktek penggunaan media sosial saat ini.
Pengguna akan berupaya untuk memilih foto profil yang sesuai dengan sosok impiannya.
Begitu juga jika melihat dari konten tulisan yang ada di media sosialnya. Jika di media
tertentu seperti Facebook terdapat bagian: “what’s on your mind” (apa yang sedang ada
dipikiranmu) yang memancing pengguna untuk menulis sesuatu. Twitter memiliki bagian:
“what’s happening” (apa yang sedang terjadi) yang membuat pengguna bisa menuangkan 140
karakter untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi. Wordpress menyediakan berbagai
macam tema atau tampilan untuk blog yang bisa dipiliha sesuai dengan penataan pengguna.
Sehingga media sosial merupakan perpanjangan dari diri individu.
Sementara itu, media sosial yang berdasarkan bakat, minat atau profesi tertentu
memiliki sebuah tujuan yang lebih spesifik. Tujuan spesifik tersebut mempengaruhi
presentasi diri pengguna. Misalkan dalam media sosial yang khusus untuk mencari pasangan.
Tujuan dari media sosial ini adalah untuk mencari atau mendapatkan pasangan. Dengan
demikian presentasi diri yang dilakukan melalui foto, deskripsi diri, pekerjaan, dan identitas
lainnya yang berkaitan dengan dirinya akan dikonstruksi sesuai dengan harapan untuk
mendapatkan pasangan. Begitu pula jika berada pada media sosial yang memfokuskan diri
pada berbagi foto dan bidang lainnya.
Dalam media sosial, setidaknya ada dua fase penting dalam presentasi diri yaitu fase
awal perkenalan dan fase berteman. Dalam fase awal pertemanan, pengguna akan saling
mencari informasi mengenai calon temannya di media sosial. Misalkan di medium Facebook,
pengguna melakukan eksplorasi terhadap akun calon temannya baik itu biodata, foto-foto,
teman-temannya, update statusnya, bergabung di grup mana, bermain game apa, dan bebagai
elemen lainnya. Dengan melakukan ini, pengguna melakukan sebuah proses konstruksi
identitas pengguna (siapa dia) lainnya berdasarkan hasil eksplorasi, begitu pula sebaliknya
berlaku untuk calon temannya. Sehingga, pengguna secara tidak langsung menyadari bahwa
dirinya akan dikenali berdasarkan apa yang ada di akunnya.
Fase berteman merupakan fase yang lebih dinamis karena pengguna dan temannya
(atau teman-temannya) sudah memiliki interaksi yang dan impresi awal. Seperti yang telah
diutarakan bahwa identitas dalam konteks media sosial akan lebih bersifat dinamis, maka fase
berteman akan berpotensi untuk mengubah atau mempertahankan impresi awal. Hal ini pun
sejalan dengan apa yang terjadi pada dunia nyata. Hanya saja, dengan media sosial dinamika
perkembangan identitas akan sangat tinggi karena ada media sosial pada umumnya
‘membuat’ pengguna untuk sering memodifikasi akunnya. Ketika modifikasi dilakukan,
disitulah potensi untuk terjadinya pergerakan identitas diri.
Selain itu, fase pertemanan yang terjadi di media sosial membuat presentasi diri
terkesan lebih kompleks dari dunia nyata. Selayaknya pertemanan di dunia nyata, ada banyak
macam pertemanan yang terjadi baik itu pertemanan dalam konteks satu kantor, dalam konteks sahabat satu kelompok, pertemanan dari almamater yang sama, pertemanan karena
memiliki bakat dan minat yang sama, dan konteks lainnya. Pertemanan melalui media sosial
bisa membuat teman-teman dari berbagai konteks pertemanan untuk saling bertemu satu sama
lain.
Dalam kondisi yang seperti ini, maka bentuk presentasi diri yang dilakukan oleh
pengguna menjadi tidak sederhana. Presentasi diri di kantor dan sesama sahabat akan
berpotensi tercampur di dalam media sosial. Pengguna yang bisa saja sangat serius dan tidak
banyak berekspresi di kantor akan sangat berbeda ketika berada di media sosial. Presentasi
diri yang dilakukan ini akan dilihat oleh teman-temannya yang berasal dari berbagai konteks.
Jika pengguna berada pada media sosial yang perubahan kontennya tidak terlalu
dinamis, maka impresi fase perkenalan dan pertemanan tidak terlalu jauh berbeda. Sebaliknya,
jika berada pada media sosial yang memungkinkan (atau mengharuskan) perubahan konten
yang sangat dinamis, maka fase perkenalan dan pertemanan menjadi sangat dinamis. Sebut
saja model homepage personal yang tidak terlalu membuat penggunanya untuk melakukan
perubahan konten secara cepat. Berbeda dengan medium seperti Twitter atau Facebook yang
mengharapkan pengguna untuk merubah konten secara dinamis.
Presentasi diri dalam media sosial juga bisa dipandang sebagai sebuah bentuk
revitalisasi atau eksperimen terhadap identitas dirinya. Individu bisa saja memiliki kendala
dalam melakukan presentasi diri sesuai dengan impiannya. Misalkan saja, dalam kehidupan
keseharian seorang individu yang ingin banyak memberi komentar terhadap peristiwaperistiwa
yang sedang terjadi mengalami kendala semantik maupun konteks dalam
menyampaikan.
Media sosial memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pengguna tersebut
untuk mempresentasikan dirinya. Seorang mahasiswa yang dalam kesehariannya mengalami
kendala dalam mempresentasikan dirinya, bisa begitu berbeda cara mempresentasikan dirinya
di media sosial. Dalam konteks gender, identitas yang ada di dunia nyata juga bisa
dieksperimenkan di dalam media sosial.
Dalam mempresentasikan diri, para pengguna harus mengatur penampilan mereka
dengan berbagai strategi. Apa yang dipublikasikan atau konten dalam media sosial harus
melalui standar editorial diri yang dimiliki. Maka dari itu, mereka harus memiliki strategi
dalam mengkonstruksi identitas mereka. Jones (1990) menyatakan rangkuman dari lima
strategi dalam konstruksi presentasi diri yang diperoleh dari eksperimen terhadap situasi
interpersonal:
- Ingratiation
Tujuan pengguna strategi ini adalah agar ia disukai oleh orang lain. Beberapa
karakteristik umum yang dimiliki adalah mengatakan hal positif tentang orang lain
atau mengataan sedikit hal-hal negatif tentang diri sendiri, untuk menyatakan
kesederhanaan, keakraban dan humor.
Dalam konteks media sosial, strategi jenis ini bisa dilihat secara jelas dengan
memberikan apresiasi terhadap foto- foto pengguna lainnya. Bisa juga dengan
berbalas-balasan status ataupun tweets.
- Competence
Tujuan dari strategi ini agar dianggap terampil dan berkualitas. Karakteristik
umum meliputi pengakuan tentang kemampuan, prestasi, kinerja, dan kualifikasi.
Beberapa pengguna media sosial dengan profesi tertentu seperti analis politik akan
menggunakan akun media sosialnya untuk memberikan tanggapan mengenai kondisi
politik saat ini. Tentu akan diupayakan untuk menunjukkan kompetensinya. Begitu
pula dalam media sosial yang fokus ke arah karya seni. Pengguna akan berupaya
sebaik mungkin untuk menampilkan karya-karya terbaik di dalam media sosialnya.
- Intimidation
Pengguna strategi ini bertujuan untuk memperoleh kekuasaan. Karakteristik umum
yang dimiliki adalah ancaman, pernyataan kemarahan, dan kemungkinan ketidaksenangan. Tentunya strategi ini bisa dilihat dengan mudah jika membaca akunakun
media sosial pengguna yang mengekspresikan rasa tidak suka atau tidak setuju
dengan sangat eskpresif. Bahkan kadang-kadang memberikan kata-kata tertentu yang
karakter-karakter nya diganti dengan tanda “*”.
- Exemplification
Tujuan dari strategi ini agar dianggap secara moral lebih unggul atau memiliki
standar moral yang lebih tinggi. Karakter umumnya adalah komitmen ideologis atau
militansi, pengorbanan diri, dan kedisiplinan diri.
Dalam media sosial umumnya ini akan dilihat dengan menampilkan foto atau
gambar-gambar bersifat nasionalis, atau menggambarkan ideologi tertentu. Pengguna
bisa juga memanfaatkan strategi ini dengan memberikan komentar-komentar terkait
pemberantasan korupsi, mafia hukum, dll.
- Supplication
Tujuannya adalah merawat atau tampak tidak berdaya sehingga orang lain akan
datang untuk membantu orang tersebut. Karakter dari pendekatan presentasi diri
termasuk memohon bantuan dan rendah diri. Strategi ini bisa terlihat dalam riwayat status atau tweets (Timeline). Pengguna terkadang menulis: “apa lagi cobaan yang akan datang”, “saya sudah tidak sanggup lagi”, dan beberapa tulisan lain yang mengarah pada menunjukkan dirinya sedang tidak berdaya atau dalam kondisi yang kurang bagus.
Strategi-strategi yang ada ini dipakai bisa dipakai oleh pengguna dalam memodifikasi
akun media sosialnya. Implementasi dari masing-masing strategi ini akan bergantung pada
kehendak pengguna memodifikasi media sosial yang dimilikinya. Seperti yang telah
diutarakan di atas, pengguna bisa menggunakan segala fitur yang ada pada media sosial tertentu untuk mencapai strategi yang ingin dipakai. Dalam kajiannya, Davis (2010)
membagikan salah satu cara untuk mempresentasikan diri melalui media sosial MySpace.
Arsitektur fisik dari Personal Interactive Homepage (PIH) bisa juga digunakan sebagai salah
satu cara untuk mempresentasikan diri.
Terkait dengan karakteristik masing-masing media sosial, maka setiap individu bisa
memiliki beberapa akun di media sosial. Misalkan saja seorang individu memiliki akun di
Facebook, lalu memiliki akun di Twitter, dan di Wordpress. Hal ini umumnya terjadi
sehingga terkesan satu individu bisa menjadi tiga virtual self. Tentunya, memiliki tiga akun
sekaligus juga bisa dipandang sebagai sebuah strategi dalam mempresentasikan diri. Akan
tetapi, ada satu hal yang perlu digarisbawahi adalah setiap media sosial memiliki
karakteristiknya masing-masing sehingga pengguna harus bisa menyesuaikan cara-cara
mempresentasikan dirinya sesuai dengan sosok impiannya. Sehingga media sosial sampai
pada titik ini merupakan sebuah wadah bagi individu untuk melakukan eksplorasi secara
leluasa terhadap presentasi dirinya.
Penutup
Presentasi diri melalui media sosial memberikan kesempatan yang luas bagi pengguna.
Ketidakhadiran elemen-elemen nonverbal dalam komunikasi melalui media sosial tidak
membuat komunikasi berjalan timpang. Akan tetapi, pengguna mendapatkan kesempatan
untuk mempresentasikan diri dengan cara yang lebih inventif. Pengguna bisa memaksimalkan
elemen-elemen aplikasi di dalam media sosial untuk memanfaatkan strategi-strategi
presentasi diri yang ada.
Media sosial yang ada membuat fase perkenalan dan pertemanan menjadi semakin
dinamis. Begitu pula dengan karakteristik media sosial yang mampu membuat presentasi diri
berjalan semakin dinamis dan kontinu. Disamping itu, presentasi diri juga bisa dimaknai
sebagai sebuah upaya revitalisasi atau eksperimen terhadap identitas pengguna.
Kajian-kajian presentasi diri tidak hanya tertutup pada level individu tetapi juga pada
level keompok atau institusi. Presentasi diri juga bisa dilakukan dengan memperhatikan faktor
gender, usia, etnis, dan jenis media itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar