Kelompok kekerabatan merupa-kan sekelompok orang yang memiliki hu-bungan darah atau perkawinan. Masyara-kat Batak Toba memiliki kelompok ke-kerabatan yang kuat yaitu didasari deng-an keturunan garis patrilineal (garis keturunan yang berasal dari laki-laki). Suatu hal yang sering dibahas dalam suatu sistem patrilineal yang sangat ketat seperti halnya dengan sistem kekerabat-an masyarakat Batak Toba adalah posisi perempuan. Perempuan merupakan ba-gian dari kelompok ayahnya sebelum dia kawin. Karena setelah perkawinan, perempuan itu akan meninggalkan ling-kungan ayahnya dan dimasukkan dalam satuan kekerabatan suaminya.
Edward Bruner (2006:159) menu-liskan bahwa orang Batak Toba menge-lompokkan manusia menjadi dua jenis yaitu kerabat dan yang bukan kerabat. Orang-orang yang bukan Batak Toba di-sebut orang asing yang bukan kerabatnya dan dalam bahasa Batak Toba disebut halak silebon.
Setiap perkawinan harus dilaku-kan dengan sesama orang Batak Toba, yang artinya bahwa perkawinan dengan orang yang bukan orang Batak Toba tidak diakui dalam adat orang Batak Toba. Seseorang yang bukan anggota masya-rakat Batak Toba dan ingin kawin dengan orang Batak Toba, harus masuk ke dalam masyarakat Batak Toba terlebih dahulu, dan menjadi bagian dari orang Batak Toba yang dilakukan melalui pemberian marga kepadanya.
Perkawinan Batak Toba adalah perkawinan eksogami marga, karena per-kawinan satu marga dilarang keras. Per-kawinan yang ideal bagi masyarakat Batak Toba adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki dari ibunya atau boru ni tulangna (pariban). Orangtua pada ma-syarakat Batak Toba selalu menganjurkan perkawinan ideal tersebut, tetapi bila anjuran ini tidak berhasil pihak orangtua sudah mengalah demi kebahagiaan anak-anaknya. Perkawinan dengan pariban ini dalam istilah Antropologi disebut dengan cross causin matrilineal. Seorang perem-puan akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap menyandang marganya sendiri; selanjutnya, perempuan tersebut beserta suaminya akan menyebut ke-lompok marga perempuan itu dengan hula-hula (Vergouwen, 1986:xi)
Perkawinan Batak Toba dikenal dengan dua macam upacara, yakni alap jual (jemput kemudian jual) dan taruhon jual (antar kemudian jual). Tahap atau proses yang dilaksanakan pada kedua jenis upacara ini pada dasarnya adalah sama, hanya dibedakan oleh siapa tuan rumah pelaksana upacara adat perkawin-annya. Alap jual adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat kediaman pihak perempuan, mas kawin atau sinamot hanya dibayarkan oleh pihak laki-laki lebih besar jumlahnya untuk upacara sejenis ini. Taruhon Jual adalah perkawin-an yang dilaksanakan di tempat kediaman pihak laki-laki biasanya lebih sedikit sinamotnya dibandingkan alap jual.
Masyarakat Batak Toba cenderung lebih menyukai upacara alap jual karena pada upacara jenis ini, perempuan lebih terkesan berharga dan terhormat. Kepu-tusan untuk pelaksanaan mana yang di-pilih apakah alap jual atau taruhon jual adalah berdasarkan kesepakatan bersama diantara kedua belah pihak pada saat diadakannya tradisi Marhata Sinamot.
Semakin majunya zaman dan ber-kembangnya ilmu pengetahuan telah membuat segala macam pemikiran manu-sia untuk lebih maju (modern) dalam segala aktifitas kehidupannya sehari-hari. Perkembangan zaman yang muncul se-bagai fenomena globalisasi dapat mem-buat banyak tradisi di dalam suatu kebudayaan mulai mengalami kelonggar-an secara perlahan. Dampak modernisasi yang positif dan negatif terhadap hu-bungan kekerabatan dapat mempenga-ruhi tingkah laku masyarakatnya, dalam hal ini kelompok sosial yang sudah terbentuk atas dasar hubungan yang kuat serta kesamaan pemikiran dan tujuan.
Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki perkembangan zaman cu-kup pesat dan mempunyai kemungkinan untuk melonggarkan atau mengaburkan tradisi yang ada dalam suatu kebudayaan. Namun dalam kenyataannya masyarakat Batak Toba yang tinggal di Surabaya masih meyakini tradisi sinamot dan masih menggunakannya dalam acara adat per-kawinan, meskipun sebenarnya mereka sudah mempunyai pemikiran tersendiri akibat perbedaan lingkungan yang me-reka hadapi. Hal ini mendukung karena selain berusaha dalam memenuhi kebu-tuhan hidupnya, beradaptasi maupun survive di lingkungan atau kebudayaan yang berbeda, tetapi kerinduan akan budaya Batak Toba yang selalu mengikuti masyarakat Batak Toba berada.
Sinamot menjadi dasar yang harus dipenuhi dan tidak dapat dihilangkan dalam rangkaian perkawinan adat Batak Toba. Sehingga hal ini bisa menghambat suatu pernikahan, hanya karena tidak sesuai dengan jumlah sinamot yang diinginkan. Akibatnya, keluarga bersikap selektif dalam hal memilihkan jodoh untuk anak-anaknya nanti.
Tidak heran ada keluarga yang lari mencari dan memilih gadis dan pria untuk anaknya dari sukubangsa yang lain hanya karena sinamot yang tidak bisa dibayarnya. Dan pemuda atau pemudi yang mencari jodoh akan lebih memilih pasangannya yang berasal dari suku-bangsa lain untuk menghindari tradisi sinamot ini. Karena tradisi sinamot merupakan awal tata cara dari suatu perkawinan adat Batak Toba.
Namun dengan seiring perkem-bangan zaman yang terjadi dalam ma-syarakat perantauan, tradisi sinamot masih tetap dipertahankan. Fenomena ini menarik untuk diteliti karena seiring dengan perkembangan zaman, dimana masyarakat Batak Toba yang merantau ke Surabaya terus melahirkan keturunan-keturunan yang tumbuh dan berkembang di daerah yang heterogen. Tradisi sinamot di dalam lingkungan sosial perkotaan akan menyebabkan kelonggaran tradisi dalam melakukan acara adat perkawinan Batak Toba, akibat interaksi antar kelompok sosial yang berbeda.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini meneliti mengenai:
- mengapa tradisi sinamot masih digunakan dalam acara adat perkawinan Batak Toba di kota Surabaya?
- apa makna dan fungsi tradisi sinamot dalam acara adat perkawinan Batak Toba di kota Surabaya ?
Penelitian ini bertujuan menam-bah kajian tentang makna dan fungsi dalam konteks Antropologi Sosial. Di samping juga bertujuan memberikan informasi bagi masyarakat tentang tradisi sinamot dalam acara adat perkawinan Batak Toba.
Sementara itu, secara akademik penelitian ini bermanfaat untuk menam-bah kajian tentang suatu tradisi dalam konteks Antropologi Sosial dapat mem-berikan informasi pada masyarakat luas dan khususnya masyarakat Batak Toba di Surabaya mengenai tradisi sinamot, dan bagaimana masyarakat Batak Toba di Surabaya tetap eksis melalui referensi budaya yang mereka miliki
Kebudayaan menurut R.Radcliffe Brown adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang kalau dilaksanakan anggotanya, melahirkan pe-rilaku yang oleh para anggotanya dipan-dang layak dan dapat diterima. Setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masya-rakat mempunyai fungsi tertentu, yang berfungsi untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan sehingga masyarakat tersebut dapat tetap lestari (Haviland, 1985: 332).
Kelompok etnik terbentuk karena adanya ciri yang ditentukan oleh kelom-pok itu sendiri, yang kemudian memben-tuk pola tersendiri dalam hubungan in-teraksi antar sesamanya. Kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk so-sialnya dalam kondisi terisolasi. Kondisi terisolasi ini terbentuk akibat faktor eko-logi setempat yang menyebabkan ber-kembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok (Barth, 1988:12).
Menurut Frederik Barth (1988:16), bila sebuah kelompok tetap memper-tahankan identitasnya sementara anggota-nya berinteraksi dengan kelompok lain, hal ini menandakan adanya suatu kriteria untuk menentukan keanggotaannya dalam kelompok tersebut, dan ini merupakan cara untuk menandakan mana yang ang-gota kelompoknya dan mana yang bukan. Kelompok etnik bukan semata-mata di-tentukan oleh wilayah yang didudukinya. Berbagai cara digunakan untuk memper-tahankan kelompok ini, bukan dengan cara sekali mendapatkan untuk seterusnya, te-tapi dengan pengungkapan dan pengukuh-an yang terus-menerus; dan ini perlu dipelajari. Lebih dari itu batas etnik me-nyalurkan kehidupan sosial. Batas ini adalah perilaku dan hubungan sosial yang amat sangat kompleks.
Menurut Emile Durkheim (dalam Salim, 2002:54-57) perubahan struktur masyarakat terbagi menjadi dua solidari-tas, yaitu masyarakat dari bersolidaritas mekanik dan bentuk masyarakat bersoli-daritas organik. Perubahan sosial ini merupakan proses waktu yang berkem-bang menjadikan populasi jumlah pendu-duk yang meningkat pesat. Dimana dalam proses itu terjadi pertumbuhan pemba-gian kerja yang berkembang.
Masyarakat bersolidaritas mekanik biasanya mengutamakan integritas sosial yang cukup kuat. Masyarakat homogen yang berada dalam lingkungan alam yang masih memiliki tradisi dan kebudayaan asli mempunyai sifat menguatkan budaya yang sudah menjadi identitas dari ke-lompok sosial tersebut. Identitas kelompok merupakan hal yang utama dan dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama.
Sedangkan bentuk masyarakat ber-solidaritas organik menekankan pada fungsi dalam struktur masyarakat yang ada. Masyarakat urban yang berada dalam lingkungan heterogen, dimana mempu-nyai kepadatan penduduk yang tidak merata menguatkan kesukubangsaan pa-da hubungan kekerabatan yang sudah ter-bentuk. Hal ini mempunyai fungsi untuk mempertahankan hubungan kekerabatan kelompok sosial agar tidak pecah hanya karena pengaruh dari masyarakat dari kelompok sosial lainnya.
Menurut Malinowski (1939) dalam Ihromi (2006:59) menjelaskan bahwa fungsionalisme adalah semua unsur-unsur kebudayaan yang bermanfaat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang di inginkan oleh suatu masyarakat dimana unsur terdapat. Maksudnya ada-lah pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan setiap kepercayaan dan sikap. Dimana ini semua merupakan bagian dari kebuda-yaan dalam suatu masyarakat yang me-menuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Kebiasaan-kebiasaan yang beragam-ragam itu saling tergantung satu dengan yang lainnya.
Fungsi dari satu unsur budaya adalah dapat memenuhi beberapa kebu-tuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari warga masya-rakat. Sedangkan kebutuhan pokok adalah seperti makanan dan reproduksi (melahirkan keturunan). Maka semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipan-dang sebagai hal yang dapat memenuhi beberapa kebutuhan dasar para warga masayarakat.
Perkawinan dalam Koentjaraning-rat (1994:103) adalah sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawin-an disebutkan membatasi seseorang un-tuk bersetubuh dengan lawan jenisnya yang lain. Selain sebagai pengatur kehi-dupan sexnya, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam kehidupan berma-syarakat seperti memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, selain itu juga untuk memelihara hubungan dengan kelompok kerabat tertentu.
Melalui perkawinan, status sosial seorang manusia dalam masyarakat tempat dia berada juga akan beralih dari seorang remaja menjadi seorang dewasa dan bahkan dia kemudian akan mendapat pengakuan status yang lebih tinggi di tengah masyarakatnya (Koentjaraningrat 1994:92).
Kajian ini berkaitan dengan pene-litian dari peneliti yaitu tentang alasan keluarga masih mempertahankan dan menggunakan tradisi sinamot dalam acara adat perkawinan Batak Toba. Dan juga mengetahui fungsi yang dimiliki ma-syarakat Batak Toba dari tradisi sinamot dalam acara adat perkawinan Batak Toba di Surabaya. Dimana tradisi sinamot ini ditentukan berdasar status sosial (tingkat pendidikan, ekonomi) tiap individu.
Metode yang digunakan peneliti dalam mendapatkan informasi tentang alasan keluarga masih mempertahankan dan menggunakan tradisi sinamot dalam acara adat perkawinan; serta apa makna yang terkandung dalam tradisi sinamot dalam acara adat perkawinan Batak Toba di Surabaya adalah bertipe kualitatif yang mendeskripsikan secara faktual dan sis-tematis mengenai fakta yang terjadi da-lam kehidupan keluarga Batak Toba.
Sementara itu, pemilihan likasi penelitian didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut. Pertama, kota Surabaya membentuk bermacam-macam kelompok kekerabatan Batak Toba yang dikelom-pokkan berdasarkan satu marga, satu wi-layah atau satu keturunan dari satu ba-pak. Kedua, kota Surabaya merupakan kota (heterogen) metropolis yang memi-liki masyarakat yang sangat majemuk dengan jumlah masyarakat Batak Toba yang migrasi ke kota ini sangat tinggi. Dimana kota ini secara terbuka menerima berbagai pengaruh dari luar, dimana hal ini mendukung pemikiran yang baru dalam suatu daerah atau lingkungannya.
Pengumpulan data dilakukan de-ngan observasi. Teknik ini dilakukan pada awal penelitian untuk mengamati acara adat Marhata Sinamot (Pembicaraan Sina-mot). Pada pengamatan ini terjadi inter-aksi antara peneliti dengan informan.
Peneliti juga mengamati orang-orang yang mengikuti acara dari kedua keluarga yang menyelenggarakannya, dan anak-anaknya yang notabane masih be-lum menikah atau yang akan menikah. Peneliti melihat bagaimana sikap mereka terhadap acarat. Selain itu, peneliti juga mengamati gerak dan bahasa tubuh in-forman berkaitan dengan pemahaman budayanya.
Di samping itu, digunakan pula teknik wawancara. Wawancara dilakukan dengan cara tanya-jawab dengan subyek pelaku secara langsung. Berbekal pedom-an wawancara yang digunakan sebagai pe-nuntun, kondisi ini memungkinkan proses wawancara berlangsung santai dan terkesan akrab. Sehingga ketika wawancara dapat menciptakan kondisi intens, maka informasi yang dihasilkan akan lebih detail.
Penentuan informan menurut Spredley dilakukan terhadap beberapa informan yangmemenuhi kriteria sebagai berikut:
- mereka yang menguasai dan memahami fokus permasalahan yang diteliti;
- mereka yang terlibat dengan kegiatan yang diteliti dan;
- mereka yang mempunyai kesempatan dan waktu yang memadai untuk dimintai. Semua informan bersedia melakukan wawancara lebih lanjut (mendalam).
Untuk menganalisis data secara kualitatif, peneliti melakukan beberapa langkah seperti yang disarankan oleh Bogdan dan Taylor (1992:130-137) yaitu:
- pertama, membaca data yang diperoleh dengan teliti yaitu: data dari hasil wawancara, data hasil catatan lapangan, dan data hasil transkrip dengan berbagai informan yang telah terpilih. Dalam hal ini menggunakan informan yang sudah ditentukan dari awal.
- Kedua, memberi tanda dan menca-tat pokok-pokok pikiran yang dianggap penting yang diperoleh dari wawancara, kemudian ditelaah. Dipelajari dan dibaca lagi untuk kemudian dilakukan sortir. Pokok-pokok pikiran yang dianggap penting menurut peneliti adalah yang berkaitan dengan tradisi sinamot.
- Ketiga, memeriksa kembali topik-topik dari hasil wawancara, mengingat aktifitas selama penelitian dan pengamat-an yang telah diperoleh selama melaku-kan penelitian. Topik yang diperiksa peneliti adalah seputar tentang tradisi sinamot beserta fungsinya dalam upacara adat perkawinan Batak Toba.
- Keempat, menyusun data dengan cara mengelompokkan data, sehingga me-mudahkan peneliti dalam proses peng-identifikasian pokok-pokok pikiran yang diperoleh selama penelitian berlangsung.
- Kelima, membaca kepustakaan yang relevan dengan topik penelitian. Dalam hal ini peneliti mendapatkan re-ferensi dari buku yang berhubungan dengan kebudayaan masyarakat Batak Toba teruta-ma dalam adat perkawinan yang terdapat tradisi sinamot, seperti buku karangan J.C Vergouwen yang berjudul Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, karangan Doangsa P.L Situmeang dalam judulnya Sistem Keke-rabatan Masyarakat Batak Toba dan sebagainya. Peneliti juga membaca hasil penelitian-penelitian yang sudah dilaku-kan, seperti proyek peneliti-an dan pencatatan kebudayaan oleh Departemen pendidikan dan Kebudayaan, dan jurnal berkaitan dengan kebudayaan masya-rakat Batak Toba yaitu jurnal mengenai interaksi sosial antar golongan etnik oleh Laporan Penelitian Jarahnita. Kepusta-kaan juga bisa didapat melalui internet dimana informasi dapat diakses dengan mudah (www.google.com).
- Keenam, membuat alur cerita dari data yang disortir dan dipilih peneliti. Dalam hal ini peneliti tidak mengarang sendiri, namun alur cerita dibuat sesuai dengan data yang telah didapat dari informan-informan selama melakukan penelitian. Ketujuh, mereview kembali hasil penelitian kepada informan dengan tujuan untuk mencari kebenaran yaitu hasil dari analisis data akan dapat menjawab permasalahan yang sedang diteliti. Peneliti juga melakukan kroscek ulang dengan semua informan bila menu-rut peneliti data yang didapat mempunyai kekurangan atau kesalahan. Hal ini mendukung suatu keaslian dari data yang berhubungan dengan topik penelitian.
Jadi secara ringkas, data yang terkumpul melalui observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka disusun dalam kategori-kategori tertentu sehing-ga akan mendapatkan gambaran secara menyeluruh. Dapat disimpulkan bahwa wujud kegiatan analisis data dalam pene-litian kualitatif itu lebih berupa pene-laahan dan penyusunan secara sistematis.
Kekerabatan di Surabaya
Masyarakat Batak Toba adalah salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia. Menurut Barth, seseorang diidentifikasi sebagai warga suatu kelompok etnik apa-bila dia memiliki kriteria yang sama da-lam penilaian, dan pertimbangan menge-nai batas-batas sosial. Batas-batas sosial yang dimaksud adalah tatanan perilaku masyarakat Batak Toba dan hubungan sosial yang dilakukannya sendiri. Dengan memiliki ciri yang khas, masyarakat Batak Toba membuat interaksi dengan sesama kerabatnya untuk membangun hubungan sosial yang baik.
Ada banyak perkumpulan marga di Surabaya dan sampai sekarang masih dalam kehidupan sosial masyarakat. Melalui perkumpulan marga masyarakat Batak Toba menunjukan identitasnya atau jati dirinya sebagai orang Batak Toba. Mereka menganggap ada suatu kebanggaan tersendiri yang dirasakan bila mereka tetap berkumpul dan ber-interaksi dengan kerabat-kerabatnya.
Perkumpulan ini merupakan sara-na bagi orang Batak Toba bersosialisasi menjaga adat budayanya di Surabaya. Ma-syarakat Batak Toba di Surabaya banyak yang bersosialisasi dengan kelompok etnik yang lainnya, namun mereka tetap tidak meninggalkan perkumpulan marga yang dibentuk. Tetapi ada juga yang tidak ter-tarik dengan perkumpulannya.
Kondisi masyarakat Batak Toba di Surabaya adalah berada dalam keadaan lingkungan heterogen. Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki perkem-bangan zaman yang cukup pesat dan mempunyai kemungkinan untuk melong-garkan atau mengaburkan tradisi yang ada dalam suatu kebudayaan. Maka masyarakatnya membutuhkan suatu ko-mitmen yang dimiliki tiap individunya untuk mempertahankan identitasnya.
Salah satunya dengan cara menjaga hubungan kekerabatan dimana sudah mereka bentuk dari dahulu. Masyarakat Batak Toba di Surabaya memaknai dalih-an na tolu sesuai dengan fungsinya. Orang Batak Toba semarga merasa bersaudara kandung sekalipun mereka tidak seibu-sebapak dan mereka akan saling menjaga, saling melindungi, dan saling menolong.
Begitu juga bila ia menemukan orang yang mempunyai marga di susunan dalihan na tolu keluarganya sebagai hulahula, maka ia akan menghormatinya meskipun tidak ada hubungan yang dekat. Sikap ini tidak jarang ditemui dalam masyarakat Batak Toba dimana-pun mereka berada, karena bagi mereka ini merupakan suatu keyakinan dan ke-percayaan untuk memperoleh kenyaman-an dalam menjalin hubungan kekerbatan.
Marhata Sinamot Wadah Kekerabatan
Pada umumnya masyarakat Batak Toba berpendapat bahwa acara marhata sina-mot adalah suatu transaksi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, tetapi harus diartikan sebagai biaya atau harga (cost) yang diperlukan untuk mencipta-kan sukacita bersama dalam mewujudkan suatu pesta perkawinan. Mereka akan membicarakan pertimbangan jumlah sinamot tadi kepada pihak perempuan.
Acara ini wajib dilakukan sebelum menerima pemberkatan pernikahan di gereja nanti. Sinamot nantinya digunakan untuk biaya perkawinan, yang berarti pembayaran perkawinan atau maskawin. Ini menunjukkan bahwa untuk men-dapatkan istri diperlukan biaya tertentu, dan karena tugas ini berada di pundak paranak maka dia akan disebut juga sebagai parsinamot.
Menurut Bapak Linggom Pasaribu, masyarakat Batak Toba di Surabaya ma-sih menimbulkan perdebatan panjang pada waktu mengadakan acara marhata sinamot. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman tentang arti dari tradisi sina-mot itu sendiri. Hal ini lebih ditujukan pada masyarakat perantauan yang me-nyalahartikan acara ini. Acara marhata sinamot adalah wadah bertemunya dua kelompok kekerabatan yang akan men-jadi satu kelompok kekerabatan yang lebih besar karena perkawinan.
Pertimbangan Jumlah Sinamot
Pertama, dari pendidikan dan kemampu-an yang dimiliki oleh masing-masing mempelai akan saling dinilai oleh masing-masing keluarga mereka. Karena nantinya bila sudah berumahtangga akan berguna untuk melangsungkan kehidupan mereka dalam membentuk keluarga baru. Hal ini sesuai dengan salah satu informan dari keluarga Pakpahan yang baru saja me-langsungkan acara marhata sinamot da-lam rencana pernikahan anak perempu-annya. Bapak Pakpahan dan istrinya ibu Sitompul sudah mempunyai kesepakatan jumlah sinamot untuk anak perempuan-nya nanti. Mereka menentukan berdasar-kan apa yang sudah dimiliki oleh anak perempuan mereka dan melihat juga kemampuan dari pihak laki-laki. Bagi mereka segala yang sudah mereka beri-kan selama hidupnya pada anaknya akan terlihat jumlahnya pada waktu anaknya akan menikah melalui tradisi sinamot. Karena bagi mereka jumlah sinamot merupakan “harga diri keluarga”.
Kedua adalah dilihat dari status sosialnya kedua keluarga, mereka saling memandang dan mempunyai pe-nilaian tersendiri. Menurut Bapak Manik jumlah sinamot dapat mempengaruhi status sosial mereka yang semakin tinggi, begitu juga sebaliknya yang dirasakan pihak laki-laki merasa bangga bisa membeli anak perempuan melalui sinamot. Bagi-nya Sinamot ini tidak akan merugikan siapapun, justru menguntungkan kedua keluarga. Dan ini salah satu yang mem-buat alasan hubungan kekerabatan orang Batak begitu kuat. Meskipun awalnya keluarga pihak laki-laki keberatan dengan jumlah yang ditawarkan, namun dengan mempertimbangkan segalanya maka ke-luarga menerima tawaran tanpa mengu-rangi jumlah sinamot yang ditawarkan pihak perempuan.
Untuk yang ketiga adalah kedu-dukan yang sedang disandang masing-masing keluarga. Maksudnya adalah ke-dudukan marga dalam kelompoknya ter-masuk tinggi atau rendah. Karena marga orang batak toba ini dahulunya berasal dari nama orang yang mempunyai sau-dara kandung. Jadi tiap marga pasti mempunyai bermacam-macam posisi, bisa sebagai kakak atau adik dalam perkumpulannya. Karena jumlah sinamot akan berhubungan dengan harga diri yang dimiliki keluarga. Menurut informan Bapak Linggom Pasaribu masyarakat Batak Toba yang sudah tinggal di daerah perantauan mem-punyai perasaan gengsi yang lebih besar daripada yang masih tinggal di kampung halaman.
Dan yang keempat adalah dilihat dari jaman yang selalu menntut masyara-katnya untuk mendapatkan uang yang banyak demi kelangsungan hidupnya. Hal ini disebabkan karena nilai uang yang semakin lama semakin tinggi, dan secara otomatis kebutuhan hidup semakin meningkat. Jadi tidak heran setiap keluarga mengharapkan jumlah sinamot yang relatif tinggi. Semuanya ini akan berguna untuk keperluan pesta adat yang akan diselenggarakan mereka nantinya.
Namun dengan perkembangan ja-man yang terjadi dalam masyarakat yang heterogen, tradisi ini menjadi sebuah patokan semangat di kalangan keluarga masyarakat Batak Toba terutama anak-anaknya untuk selalu bekerja keras demi memperoleh yang terbaik dalam kehi-dupannya. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di kota memandang struktur so-sial berdasarkan pendidikan, agama dan yang lain yang membentuk masyarakat tersebut dalam menentukan tradisi si-namot. Faktor yang menjadi pertimbang-an masyarakat Batak Toba di Surabaya mengenai tradisi sinamot ini sebenarnya berguna untuk memelihara hubungan yang baik antara kelompok kekerabatan yang terdiri dari satu marga.
Makna dan Fungsi Sinamot di Surabaya
Tradisi sinamot yang ada di kampung halaman mempunyai makna sebagai sa-lah satu alat untuk mengikat hubungan yang terjalin antara dua kelompok keke-rabatan yang bersangkutan. Tradisi ini merupakan salah satu dari macam-ma-cam tradisi yang dilakukan oleh masya-rakat bersolidaritas mekanik di kampung halaman. Mereka melakukannya untuk memperkuat hubungan diantara hubung-an dalihan natolu yang sudah terbentuk. Tradisi ini sudah menjadi salah satu rangkaian adat perkawinan yang sudah disahkan dan disetujui oleh masyarakat Batak Toba itu sendiri, sehingga mem-perkuat integritas sosial mereka.
Sedangkan tradisi sinamot yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba di Surabaya dimana tergolong masyarakat bersolidaritas organik ini menekankan pada fungsi masyarakat yang ada. Mereka menganggap bahwa tradisi sinamot tetap dilakukan untuk memelihara hubungan kekerabatan antar kelompok marga. Me-reka akan selalu berinteraksi dengan berbagai etnis dan agama di Surabaya. Identitas sebagai masyarakat Batak Toba akan mengalami kelonggaran bila mereka hanya berinteraksi dengan masyarakat di luar Batak Toba. Karena melalui proses interaksi maka seseorang bisa terpenga-ruh kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam lingkungan sosial tersebut.
Sebaliknya, jika individu yang mempunyai identitas sebagai masyarakat Batak Toba tetap berinteraksi dengan komunitasnya yang memiliki kesamaan latar belakang budaya di masyarakat heterogen, maka identitas mereka sebagai “orang Batak” akan semakin melekat dalam batin individu sesuai fungsionalisme Malinowski dalam Ihromi.
Tinggi rendahnya pendidikan yang diperoleh seorang pemuda dan pemudi dipakai sebagai tolak ukur tinggi ren-dahnya sinamot. Status sosial kedua pengantin, serta orangtua masing-masing ikut menentukan sinamot. Demikian pula dengan kecantikan dan ketrampilan khu-sus yang dimiliki oleh pemudi atau anak perempuannya. Tinggi rendahnya sina-mot dapat dilihat sebagai ukuran kedu-dukan suatu keluarga. Jadi, dalam menen-tukan besarnya sinamot yang diminta, pihak perempuan biasanya mengajukan jumlah yang tinggi dengan memper-hatikan semua pertimbangan tersebut.
Masyarakat Batak Toba yang me-rantau ke Surabaya adalah bersolidaritas organik, dimana mereka berada di ling-kungan heterogen, terdapat proses pem-bagian kerja yang memiliki mekanisme tertentu. Berkembangnya alat-alat komu-nikasi dan transportasi dapat mening-katkan kepadatan penduduk melalui imi-grasi. Jumlah penduduk pencari kerja semakin meningkat dan penciptaan la-pangan kerja baru semakin banyak juga. Hal ini bisa menjadi masalah karena pem-bagian kerja yang terdiferensiasi akan sulit dikerjakan karena terjadi persaingan yang cukup ketat. Maka masyarakat ini menekankan pada fungsi dalam struktur masyarakat yang ada. Fungsinya adalah untuk mempertahankan hubungan keke-rabatan kelompok sosial agar tidak pecah, hanya karena pengaruh dari masyarakat dari kelompok sosial lainnya.
KESIMPULAN
Fenomena yang dialami masyarakat Batak Toba yang merantau ke Surabaya adalah dengan melahirkan keturunan-keturunan yang tumbuh, dan berkembang di daerah yang heterogen yang memiliki lingkungan sosial yang plural, menye-babkan kemungkinan yang besar lun-turnya tradisi dalam perkawinan adat Batak Toba akibat interaksi antar kelom-pok sosial yang berbeda. Salah satu usaha dalam mempertahankan identitas suku-bangsanya dengan melakukan perkawin-an sesama suku Batak Toba.
Tradisi sinamot yang ada di kam-pung halaman mempunyai makna sebagai salah satu alat untuk mengikat hubungan yang terjalin antara dua kelompok ke-kerabatan yang bersangkutan. Tradisi ini merupakan salah satu dari macam-macam tradisi yang dilakukan oleh ma-syarakat bersolidaritas mekanik di kam-pung halaman. Mereka melakukannya untuk memperkuat hubungan diantara hubungan dalihan natolu yang sudah terbentuk. Tradisi ini sudah menjadi salah satu rangkaian adat perkawinan yang su-dah disahkan dan disetujui oleh masya-rakat Batak Toba itu sendiri, sehingga memperkuat integritas sosial mereka.
Sedangkan tradisi sinamot yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba yang merantau ke Surabaya dimana tergolong masyarakat bersolidaritas organic ini menekankan pada fungsi masyarakat yang ada. Mereka menganggap bahwa tradisi sinamot tetap dilakukan untuk memelihara hubungan kekerabatan antar kelompok marga dan berinteraksi dengan berbagai etnis dan agama di Surabaya.
Identitas masyarakat Batak Toba akan mengalami kelonggaran apabila me-reka hanya berinteraksi dengan masya-rakat di luar Batak Toba. Karena melalui proses interaksi maka seseorang bisa ter-pengaruh dengan kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam lingkungan sosial tersebut. Sebaliknya, jika individu yang mempunyai identitas sebagai masyarakat Batak Toba tetap berinteraksi dengan komunitasnya yang memiliki kesamaan latar belakang budaya di tengah masya-rakat heterogen, maka identitas mereka sebagai “orang Batak” akan semakin melekat dalam batin tiap individu.
Namun dengan seiring perkem-bangan Jaman yang terjadi dalam ma-syarakat yang heterogen, tradisi ini men-jadi sebuah patokan semangat di kalang-an keluarga masyarakat Batak Toba ter-utama anak-anaknya untuk selalu bekerja keras demi memperoleh yang terbaik dalam kehidupannya. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di kota (heterogen) memandang struktur sosial berdasarkan pendidikan, agama dan yang lainnya yang membentuk masyarakat tersebut dalam tradisi menentukan jumlah sinamot. Tra-disi sinamot pada masyarakat Batak Toba yang merantau ke Surabaya adalah untuk memelihara hubungan yang baik antara kelompok sosial (satu marga). Bertemu-nya dua kelompok sosial dalam perka-winan mempunyai makna sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar