Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a
constitution dapat dijawab bahwa “…a
constitution is a document which contains the rules for the the operation of
an organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas
strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu
memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya
Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki
satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di
kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman
praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi
dalam konteks hukum tata negara Inggris.
Berlakunya suatu
konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan
tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara
itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu
adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh
para ahli sebagai constituent power yang
merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah
yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent
power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pemerintahan
yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power
berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling
fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi
atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan
perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal,
maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat
berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Konstitusi selalu
terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan
“Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the
power of words engrossed on parchment to keep a government in order”. Untuk
tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sedemikian
rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan
dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan
ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan
peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
Konstitusionalisme
di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara
modern. Seperti
dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana
dikutip di atas, “constitutionalism is an institutionalized system of
effective, regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi
negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka
bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut negara. Kata
kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan
umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang
bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau
revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa
besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776,
dan di Rusia pada tahun 1917,
ataupun peristiwa besar di Indonesia pada tahun
1945, 1965 dan 1998.
Konsensus yang menjamin
tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar
pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:
1. Kesepakatan
tentang tujuan atau cita-cita bersama (the
general goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
2. Kesepakatan
tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan
negara (the basis of government).
3. Kesepakatan
tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan (consensus)
pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya
konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama
itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam
kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena
itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan
bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama
yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara.
Di Indonesia, dasar-dasar
filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang
berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat
tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup sila atau prinsip
(i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii)
Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk
mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara, yaitu: (i) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan
kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi,
dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua
adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan
konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena
dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak
dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule
of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk
itu adalah the rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey,
seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini
dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk
menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau
memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
Istilah The Rule of Law
jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini,
kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekedar bersifat instrumentalis
atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau
manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum
dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat
pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam
arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal
adanya istilah constitutional state
yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu,
kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri
dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus
didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan
berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati,
hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan
sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga
adalah berkenaan dengan
(a) Bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang
mengatur kekuasaannya;
(b) Hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama
lain; serta
(c) Hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara.
Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah
dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan
institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan
dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional
state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen
konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang
cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan,
bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi
tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah
mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharusnya tidak diubah
semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan
undang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi
terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan
dari kemungkinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
Keberadaan Pancasila
sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi
sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun
sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara
dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat
Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam
pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi
tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh
elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran
Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi
juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan,
tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi
terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana
mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah
kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu
kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara (the basis of
government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions
and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai
jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun
sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu
maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian
ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme.
Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam
ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem
kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan,
namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme,
negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu
maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar