Pendidikan sosial di Jepang di tekankan pada dua asas pokok, yaitu:
- menjamin hak-hak setiap warga negara untuk belajar, khususnya mereka yang kurang mampu untuk bersekolah, dan
- memajukan demokrasi yang partisipatif kepada masyarakat melalui proses pembelajaran di tengah-tengah lingkungan masyarakat (Ogawa, 1987; Sato, 1998).
Landasan Filosofis tersebut telah diwujudkan melalui sebuah proses dan kegiatan pembelajaran gratis atau murah dalam Citizens’ public halls atau di Jepang dikenal dengan Kominkan (Community Cultural Learning Center) yang tersebar di seluruh wilayah Jepang. Namun demikian, Miya Narusima dalam hasil penelitiannya menyebutkan, bahwa program-program pendidikan sosial di Jepang khususnya yang diselenggarakan melalui Kominkan pada saat ini kurang menekankan pada pendidikan dasar masyarakat dan pelatihan kejuruan. Implementasi program pendidikan sosial di Jepang lebih menekankan pada hal-hal yang berhubungan dengan budaya, lifestyle, olah raga dan rekreasi, serta kegiatan pembelajaran masyarakat lainnya. Miya Narushima (2004).
a. Undang-undang pendidikan sosial
Pada tahun 1949, Undang-undang Pendidikan Sosial disusun sebagai bagian dari kerangka baru pendidikan pasca perang. Berdasarkan pada kesadaran terhadap fakta sejarah bahwa Pendidikan sosial di Jepang pernah dimanipulasi untuk tujuan perang oleh pemerintah kekaisaran, Undang-undang Pendidikan Sosial bermaksud mendirikan sistem pendidikan yang komprehensif serta dapat menjamin kebebasan pendidikan bagi masyarakat serta mengakar di tengah-tengah masyarakat. Lebih jelasnya lagi, Undangundang tersebut menegaskan tentang 5 komponen yang harus dikembangkan sehubungan dengan pengembangan pendidikan sosial di Jepang terutama menyangkut:
- ruang lingkup pendidikan sosial,
- menetapkan peran pemerintah,
- peran Dewan Pendidikan,
- peran staf pemerintah, dan
- menyediakan sarana prasarana pendidikan sosial lainnya.
Meskipun demikian Undang-undang Pendidikan Sosial yang disahkan pada tahun 1949 tersebut telah mengalami beberapa kali revisi, diantaranya adalah revisi tahun 1959, 1999, dan 2001 yang nampaknya menjadi kejadian yang sangat kontroversial dalam sejarah Pendidikan Sosial di Jepang (Nagasawa, 2001).
Salah satu keistimewaan khusus Undang-Undang Pendidikan Sosial tahun 1949, dan alasan kenapa lebih dihargai oleh banyak pendidik masyarakat Jepang, mereka berpendapat bahwa undang-undang tersebut dianggap sebagai simbol pendidikan demokrasi, (Aso & Hori, 1997, Ogawa, 1987) seperti ditulis dalam postingan ini. Postingan ini menjelaskan, bahwa Dewan Pendidikan Kota besar, Kota kecil, dan desa memiliki wewenang penuh untuk membuat keputusan mengenai pendirian dan pengembangan fasilitas pendidikan sosial melalui Kominkan. Di samping itu pula, setiap Kominkan diharuskan membuat Badan Operasional Kominkan yang terdiri dari berbagai kelompok dan perkumpulan masyarakat guna mendorong masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam menjalankan Kominkannya sendiri. Sehingga masyarakat dapat memutuskan isi program Kominkan sesuai dengan kebutuhannya sendiri (masyarakatnya).
Undang-undang tersebut menetapkan tentang peran administrasi pemerintah agar mendorong pengembangan kegiatan pendidikan sosial di lingkungan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk menggali berbagai ilmu pengetahuan secara mandiri dengan cara ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar kapanpun dan dimanapun. Berdasar pada artikel tersebut, maka aksi nyata yang dilakukan pemerintah guna mengimplementasikan undang-undang tersebut adalah menemukan sarana dan prsarana sebagai perantara terjadinya proses pembelajaran masyarakat. Berkat Undang-undang tersebut, maka dibangunlah berbagai fasilitas pendidikan sosial seperti: Kominkan, Museum, Perpustakaan publik, Pusat pengembangan generasi muda dan anak-anak, Pusat pengembangan perempuan dan fasilitas pendidikan sosial lainnya. Jumlah kelas dan pelajaran yang ditawarkan di sarana tersebut diperkirakan berjumlah 74,006 dengan lebih dari 120,000,000 orang yang belajar (Aso & Hori, 1997).
Dari jumlah tersebut, nampak jelas tingkat keseriusan pemerintah Jepang khususnya Pemerintah Kota dalam meningkatkan pendidikan nonformal khususnya pendidikan sosial bagi warga masyarakat. Terutama masyarakat yang tidak terlayani pendidikan formal atau sekolah. Oleh karena itu kebijakan pendidikan sosial pasca perang yang didukung oleh Undang-undang Pendidikan Sosial nampaknya telah berhasil menggapai tujuan pembentukan dasar pendidikan sosial daerah yang solid di seluruh wilayah, terutama dengan penyediaan fasilitas (sarana/prasarana) pendidikan sosial.
Akimoto (2001), menjelaskan, bahwa banyak studi mengkritisi arah (tren) baru tentang pembelajaran di Kominkan yang lebih mengarah pada leisure-oriented ‘selfinterest’. Namun demikian studi historis perkembangan Kominkan selama lebih dari 50 tahun terakhir ini menggambarkan bagaimana Kominkan sangat membantu perkembangan gerakan demokrasi daerah pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an. Sejak tahun 1980-an isu tentang ‘de-politicization Kominkan’ menjadi isu utama. Dengan pengenalan pembelajaran sepanjang hayat sebagai kebijakan baru pendidikan pada pertengahan tahun 1980-an nampaknya telah mempercepat ‘de-localization’ praktekpraktek tradisional pendidikan sosial.
b. Kebijakan pembelajaran sepanjang hayat
a) Dari pendidikan sepanjang hayat sampai pembelajaran sepanjang hayat
Konsep lifelong learning (belajar sepanjang hayat) diperkenalkan di Jepang sekitar akhir tahun 1960 an. Tahun 1972, Faure Report dari UNESCO membenarkan konsep tersebut sebagai konsep yang
relevan bagi masyarakat Jepang, namun demikian muncul berbagai kritikan tajam terhadap konsep tersebut, karena dianggap memberikan tekanan terlalu keras terhadap penyelenggaraan pendidikan formal khususnya sekolah. Ogawa (1991) membagi proses perkembangan pembelajaran sepanjang hayat di Jepang kedalam tiga periode:
- periode pengenalan (dari akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an),
- periode perkembangan (antara awal tahun 1970-an dan pertengahan tahun 1980-an), dan
- periode lanjutan (dari pertengahan tahun 1980-an sampai sekarang). (Ogawa, 1991)
Ogawa berpendapat bahwa tujuan diperkenalkannya konsep lifelong learning di Jepang selama dua periode awal adalah untuk menambah pengetahuan dalam rangka meningkatkan kehidupan masyarakat, sehingga perkembangan daerah mempengaruhi program-program Kominkan dan menekankan gagasan pendidikan lanjutan. Selama periode ketiga, konsep lifelong learning (pembelajaran sepanjang hayat) telah diputar balikkan dan dimasukkan kedalam kebijakan-kebijakan nasional untuk menangani permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks ini, Wilson (2001) berpendapat bahwa lifelong learning dapat dianggap sebagai garis hidup Jepang saat ini. Perubahan nama dari lifelong education menjadi lifelong learning mengindikasikan penekanan baru pada individu atau masyarakat sebagai self-directed agents dalam rangka pembelajaran mandiri (Wilson, 2001). Di samping itu pula, penggunaan kata ‘learning (pembelajaran)’ memecah peran monopoli Departemen Pendidikan dalam sistem pendidikan dan memacu departemen lain untuk bekerja sama atau ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan yang terintegrasi (Thomas, Uesugi, & Shimada, 1997). Maka, tidak mengherankan jika Pemerintah Jepang memungkinkan untuk mewujudkan undang-undang yang baru tersebut. Namun demikian Undang- Undang tersebut berpengaruh kurang dari dua tahun setelah laporan Badan Nasional Reformasi Pendidikan tahun 1988.
b) Undang-undang lifelong learning promotion tahun 1990
Pada tahun 1990, pemerintah Jepang mensahkan Undang-undang lifelong learning promotion dan mulai memperkenalkan Undang-Undang tersebut kepada masyarakat sebagai kunci reformasi kebijakan pendidikan dan administratif. Undangundang baru tersebut disahkan dalam waktu yang sangat singkat dan mendapatkan perlawanan sengit dari para pendidik masyarakat yang menyadari bahaya undangundang baru itu. Salah satu kritik utama pada tahun 1990 adalah kurangnya penjelasan secara eksplisit mengenai istilah ‘pembelajaran sepanjang hayat’; padahal tujuan dari undang-undang yang baru tersebut adalah menciptakan struktur pendidikan yang lebih baik dan memungkinkan setiap orang (masyarakat) untuk berpartiaipasi secara aktif dalam pembelajaran sepanjang hayat.
Jelaslah bahwa dari luar undang-undang tersebut dibuat dengan tujuan bahwa pemerintah akan menggunakan ‘pembelajaran sepanjang hayat’ lebih dari sekedar konsep dasar yang digunakan dalam pendidikan sosial. Undang-undang tersebut dirancang agar rencana konkrit dalam implementasi kebijakan-kebijakan baru harus terus dikembangkan terutama melalui laporan dan rekomendasi Badan adhok yang telah dibentuk. Untuk itulah pada tahun 1992 Badan Nasional Lifelong Learning didirikan untuk memberikan saran bagi perkembangan kebijakan yang telah ditetapkan. Dari hasil studi-studi Wilson (2001) menjelaskan, bahwa Badan Pendidikan dan Badan Pusat Pendidikan telah mengeluarkan 10 kali laporan antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2000, dimana laporan-laporan tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan kebijakan pendidikan. (Miya Narushima, 2004).
Inovasi utama Undang-undang lifelong learning promotion terangkum dalam tiga poin berikut:
- dukungan bagi tiap Prefektur (serupa dengan pemerintahan provinsi) guna mendirikan Badan Pembelajaran Sepanjang Hayat Prefektur serta merencanakan pembelajaran sepanjang hayatnya sendiri;
- dukungan bagi lembaga bisnis swasta untuk bekerja sama dalam pengembangan masyarakat melalui pembelajaran sepanjang hayat yang terintegrasi dengan sektor-sektor publik dan pemerintah; dan
- Departemen Perdagangan dan Perindustrian Internasional, birokrasi yang paling berpengaruh di Jepang, memiliki rencana untuk ikut terlibat memfasilitasi industri pembelajaran sepanjang hayat.
0 komentar:
Posting Komentar