Berbagai macam ideologi dapat
diuraikan sebagai berikut:
a).
Liberalisme
Liberalisme adalah suatu ideologi atau ajaran
tentang negara, ekonomi dan masyarakat yang mengharapkan kemajuan di bidang
budaya, hukum, ekonomi dan tata kemasyarakatan atas dasar kebebasan individu
yang dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya sebebas mungkin. Liberalisme
ekonomi mengajarkan kemakmuran orang perorang dan masyarakat seluruhnya
diusahakan dengan memberi kesempatan untuk mengejar kepentingan masing‑masing
dengan sebebas‑bebasnya.
Neo‑Liberalisme yang timbul setelah perang Dunia I
berpegang pada persaingan bebas di bidang politik ekonomi dengan syarat
memperhatikan/membantu negara‑negara lemah/ berkembang. Dibandingkan dengan
ideologi Pancasila, apabila ideologi liberalisme lebih menekankan kepada
kepentingan individu dan persaingan bebas, ideologi Pancasila mengutamakan
kebersamaan, kekeluargaan dan kegotong‑royongan. Demokrasi liberal lebih
bersifat formalistis, demokrasi Pancasila mengutamakan musyawarah untuk
mencapai mufakat.
b).
Kapitalisme
Kapitalisme, bila dilihat dari sisi ekonomi
diartikan sebagai sistem ekonomi di mana bahan baku distribusinya secara
pribadi dimiliki dan dikembangkan. Sedangkan bila dilihat dari sisi politik,
kapitalisme adalah sistem sosial berdasarkan hak asasi manusia. Untuk
mendapatkan sistem ekonomi di mana “produksi dan distribusi dimiliki secara
pribadi”, harus mempunyai hak individual dan terutama hak properti. Milton
Friedman cenderung untuk mengefektifkan pasar bebas (free‑market), di mana mereka mengklaim promosi kebebasan individu
dan demokrasi. Sedangkan menurut Marx, kapitalisme adalah hasil karya dari
pasar pekerja (labor market).
Perkembangan ekonomi yang pesat di Eropa akibat
Liberalisme menimbulkan suatu ideologi yang baru, yang bersumber pada modal
pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dalam pasar bebas.
Ideologi ini disebut Kapitalisme. Sebenarnya bentuk awal dari kapitalisme
adalah merkantilisme yang berkembang
di Eropa dan Timur Tengah pada Abad Pertengahan. Pada dasarnya inti dari
merkantilisme dan kapitalisme sama,
yaitu untuk mencapai keuntungan. Namun seiring dengan berjalannya waktu,
merkantilisme di Eropa berpadu dengan praktek ekonomi, yang kemudian disebut
dengan kapitalisme.
Kapitalisme yang berkembang menyebabkan munculnya
negara‑negara yang kuat dan kaya, sehingga berambisi untuk memperluas
wilayahnya. Kemudian timbullah suatu ideologi baru yaitu kolonialisme. Upaya
untuk memperluas wilayah tersebut berupa klaim atas wilayah yang dikuasai dan
disusul dengan pemindahan penduduk.
c).
Kolonialisme
Kolonialisme adalah paham tentang penguasa oleh
suatu negara atas daerah/bangsa lain dengan maksud untuk memperluas wilayah
negara itu. Faktor penyebab timbulnya kolonialisme: keinginan untuk menjadi
bangsa yang terkuat, menyebarkan agama dan ideologi, kebanggaan atas bangsa
yang istimewa, keinginan untuk mencari sumber kekayaan alam dan tempat
pemasaran hasil industrinya.
Tipe‑tipe kolonialisme adalah:
(1) Koloni
penduduk: jika terjadi migrasi besar‑besaran ke negeri asing dan kemudian
menjadi tanah air baru. Misalnya Amerika Utara dan Kanada.
(2) Koloni
kelebihan penduduk : seperti koloni‑koloni bangsa Italia dan Jepang.
(3) Koloni
deportasi: tanah koloni yang dikerjakan olen orang‑orang buangan, misalnya
Australia.
(4) Koloni
eksploitasi: daerah jajahan yang dikerjakan hanya untuk mencari keuntungan,
misalnya Hindia Belanda.
(5) Koloni
sekunder: tanah‑tanah koloni yang tidak menguntungkan ibu‑negeri, tapi perlu
dipertahankan karena kepentingan strategi.
d).
Nasionalisme
Nasionalisme merupakan salah satu ideologi yang
berpengaruh di Eropa pada akhir abad
ke-18 sampai dengan awal abad ke-20 dan di Asia-Afrika pada abad ke-20. Dalam
kurun waktu sepanjang dua abad, nasionalisme telah merepresentasikan diri
sebagai ideologi yang berperan penting dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state) di ketiga belahan dunia
tersebut.
Dalam kajian-kajian tentang nasionalisme, titik
tolak pembahasan terletak pada bangsa (nation).
Berpijak dari konsep bangsa ini maka nasionalisme dapat dimengerti sebagai
sebuah kesadaran nasional, ideologi politik dan gerakan politik yang
mengarahkan suatu bangsa menuju pembentukan organisasi politik yang ideal yaitu
negara-bangsa. Negara bangsa adalah konsep di mana negara terdiri dari satu bangsa, dan yang
disebut bangsa di sini adalah rakyat yang berdaulat. Jadi konsep bangsa yang
digunakan tidak lagi mengacu pada aspek primordial seperti kesatuan etnis,
atau bahasa namun lebih pada aspek
politis.
Pembentukan negara-bangsa - sebagai tujuan
nasionalisme - mensyaratkan adanya pemahaman tentang bangsa dalam arti modern,
yaitu bangsa di mana para anggotanya memiliki kesadaran bahwa mereka 1) tinggal
dalam teritori yang sama sehingga menimbulkan rasa memiliki negara yang sama,
2) memiliki identitas nasional yang terkristalisasi dari sejarah, bahasa dan
budaya yang sama, dan 3) merupakan anggota bangsa yang sama. Ketiga hal ini
merupakan aspek-aspek yang dapat mempersatukan rakyat yang terpisah secara
geografis sekaligus menumbuhkan tanggung jawab politik bersama.
Bangsa dalam arti modern, seperti telah disebut,
dicirikan dengan adanya tanggung jawab politik bersama dari para anggotanya.
Dalam sejarah, pembangunan bangsa sebagai kesatuan politis dilatar belakangi oleh gagasan kedaulatan
rakyat ( merupakan reaksi dari gagasan kedaulatan raja yang bercorak absolut).
Gagasan kedaulatan rakyat inilah yang kemudian melahirkan sebuah kata kunci
yaitu warga negara. Sebagai akibat dari lahirnya gagasan kedaulatan rakyat maka
dalam konteks kenegaraan, negara dipahami sebagai tatanan politik yang
melembagakan kehendak rakyat. Rakyat adalah subyek hukum, pihak yang memahami
diri sebagai pembuat hukum itu sendiri. Selain itu, dengan adanya kesadaran
dari rakyat bahwa mereka adalah warga negara, maka rakyat (yang juga) sebagai
anggota bangsa akan melihat diri mereka sebagai kesatuan warga negara yang
berhak menentukan pemerintahan sendiri. Jadi, dalam pengertian bangsa yang
modern, terdapat hubungan yang erat antara bangsa, negara dan rakyat sebagai
warga Negara. Adapun peran nasionalisme adalah sebagai ideologi yang mendorong
kesadaran rakyat menjadi kesadaran nasional untuk menuju pembentukan negara-bangsa yang berdaulat.
Untuk memahami nasionalisme di Eropa pada abad ke-
18- 20 dan di Asia - Afrika pada abad ke-20 maka dapat dijelaskan dari
ideologi-ideologi lain yang mengiringi
pemikiran nasionalisme di kawasan-kawasan tersebut. Di Eropa,
perkembangan nasionalisme juga diiringi oleh ide-ide kedaulatan rakyat,
liberalisme dan kapitalisme. Terkait dengan liberalisme, dalam paham ini kebebasan individu dijamin
keberadaannya, sebagai akibatnya, tujuan negara dalam masyarakat yang liberal
adalah untuk mempertahankan kebebasan, melindungi harta milik dan mewujudkan
kebahagiaan individu. Dengan demikian, ketika nasionalisme, liberalisme dan
gagasan kedaulatan rakyat telah berhasil mentransformasi bangsa-bangsa di
negara-negara Eropa (khususnya Eropa Barat) menjadi bangsa bercorak politis
yang terdiri dari kesatuan warga negara, maka negara-bangsa tak lebih dari
sarana untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu-individu warga negara.
Dampaknya
dalam hubungan antar negara adalah,
yang disebut kepentingan nasional sebenarnya tak lain dari kepentingan
individu-individu atau warga negara, di mana negara berkewajiban untuk
mewujudkannya. Bila tiap negara berkewajiban mewujudkan kepentingan nasional
maka dalam hubungan internasional akan muncul benturan antar kepentingan
nasional. Nasionalisme dan liberalisme (dan kemudian diikuti oleh liberalisme
dalam bidang ekonomi yaitu kapitalisme) yang berkembang di Eropa akhirnya
mendorong intensitas konflik internasional yang dipicu oleh persaingan ekonomi
disertai persaingan untuk melakukan ekspansi wilayah guna mendapat sumber bahan
mentah. Tiap negara berlomba membangun imperium dengan memperluas
wilayah-wilayah jajahan di kawasan Asia dan Afrika, sebagai contoh Inggris pada
tahun 1870 – 1900 menguasai wilayah jajahan seluas 4.250.000 mil2,
Perancis menguasasi 3.500.000 mil2 dan Jerman memiliki jajahan
seluas + 1.000.000 mil2.
Nasionalisme dan kapitalisme di Eropa pada abad
ke-18-19 telah melahirkan negara-bangsa yang kokoh dan dengan kekuatan negara
ini pula, suatu bangsa dapat membangun koloni-koloni dan imperium. Semakin luas
wilayah jajahan yang dimiliki maka semakin makmur suatu negara-bangsa.
Sebaliknya, di Asia dan Afrika, kolonialisme dan
imperialisme bangsa-bangsa Eropa (kemudian diikuti Jepang) telah menyadarkan
rakyat pribumi untuk melawan. Nasionalisme yang bercorak antikolonialisme dan
antiimperialisme merupakan jiwa dari seluruh gerakan nasional untuk
memerdekakan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Hasil perjuangan tersebut dapat
dilihat dari data antara tahun 1945 sampai 1960, terdapat 55 wilayah jajahan
yang merdeka dan membentuk negara-negara berdaulat.
Pada abad ke-21 ini, nasionalisme tidak lagi
menjadi isu sentral dalam masalah-masalah global. Namun demikian masih banyak
negara yang harus menghadapi
masalah-masalah kebangsaan yang bertumpu pada upaya persatuan bangsa (Nation Building) dan permasalahan ini
umumnya terjadi di negara-negara yang terbentuk dari bangsa yang multietnis dan
multikultural, sebagai contoh yang dapat ditampilkan di sini adalah kegagalan
Uni Sovyet dan Yugoslavia dalam mambangun kesatuan bangsa dari keragaman etnis,
yang akhirnya berujung pada pembubaran kedua negara tersebut. Selain itu
negara-negara seperti Spanyol masih harus menghadapi gerakan separatis Basque.
Sementara itu, negara-negara seperti
Irak, Sri Lanka dan bahkan Indonesia masih harus terus berjuang menuju kesatuan
bangsa ini.
e).
Sosialisme
Sosialisme adalah suatu ideologi yang menjadi
gerakan yang hendak mengubah struktur kepemilikan masyarakat secara politis,
serta ingin membangun suatu masyarakat baru atas dasar berbagai aliran dalam
sosialisme. Pada Abad ke‑19 dan ke‑20, sosialisme merupakan salah satu jawaban
terhadap krisis sosial akibat industrialisasi dan cara produksi kapitalis.
Sosialisme mau menggantikan sistem kapitalis dengan suatu tatanan masyarakat
yang lain. Sosialisme berpendapat bahwa manusia sebenarnya tak hanya bersifat
egoistis, melainkan juga sosial. Manusia mampu mewujudkan hidup dalam
kebersamaan yang akrab asal diberi kesempatan. Halangan utama adalah hak milik
pribadi yang tidak terbagi rata. Ciri khas sosialisme ialah tuntutan
penghapusan atau pembatasan hak milik pribadi sebagai sarana utama untuk
membangun suatu masyarakat yang sekaligus bebas dan selaras. Cara mencapai
tujuan berbeda-beda menurut macam-macam aliran sosialisme. Sosialisme ada yang
ateis dan ada yang religius. Sosialisme Marxis (Karl Marx 1818-1883) yang
menganggap dirinya sebagai “sosialisme ilmiah” bersifat ateis. Sosialisme tidak
identik dengan Marxisme. Sosialisme yang bersumber pada ideologi Pancasila
adalah sosialisme yang relegius. Hak milik perseorangan diakui tetapi mempunyai
fungsi sosial.
f).
Marxisme
Marxisme sebagai suatu ideologi timbul karena
munculnya kapitalisme yang menimbulkan perbedaan kelas dalam masyarakat. Hal
itu menyebabkan penderitaan kaum proletar, sedangkan kaum borjuis semakin kaya.
Sementara dalam Marxisme tidak mengenal perbedaan kelas. Perekonomian negara
dan hak milik bersama diatur oleh negara.
Landasan filosofi ideologi Marxisme adalah
materialisme, karena menurut Marx dan Engels dalam kehidupan ini, "yang
primer" dianggap sebagai materi. Konflik yang terjadi dalam sejarah
manusia selalu memperebutkan sesuatu yang ada hubungannya dengan materi.
Penerapan Marxisme kemudian menimbulkan paham baru yaitu sosialisme-marxisme.
Pada awalnya, sosialisme merupakan utopia sosialis, artinya dalam kehidupan
sosial semua orang dipandang sama, tidak ada perbedaan baik laki‑laki maupun
perempuan, tidak ada perbedaan antara yang memiliki uang dengan yang tidak
memiliki uang.
g).
Fasisme dan Nazisme
Berakhirnya Perang Dunia (PD) I pada tahun 1918
menimbulkan tragedi bagi Eropa dan dunia. Bagi negara-negara yang kalah perang,
kenyataan ini tentu menyakitkan lagi, Jerman misalnya, harus menerima isi
Perjanjian Perdamaian Versaille (1919) yang isinya antara lain kedaulatan
Jerman dikendalikan oleh Tentara Pendudukan Sekutu.
Dalam situasi negara yang kacau setelah perang, di
mana korban-korban sipil berjatuhan, dan kemiskinan yang merajalela, fasisme
dan nazisme ditawarkan sebagai ideologi maupun gerakan yang mampu membangkitkan
kembali kemakmuran, kehormatan dam kejayaan suatu negara bangsa.
Istilah fasisme dikumandangkan pertama kali pada
tahun 1919, tepatnya pada saat berdirinya gerakan Fasis di Italia. Selanjutnya,
sebagai sebuah ideologi, fasisme mengacu pada ideologi yang diterapkan
Mussolini di Itali pada tahun 1922-1939.
Fasisme dan nazisme memiliki beberapa kesamaan
konsep dasar sehingga nazisme sering disebut sebagai fasisme varian Jerman.
Nazisme berasal dari kata Nazi singkatan dari Nationalsozialistische yang menjadi ideologi Partai NSDAP (Nationalsozialstische Deutsche Arbeiter
Partei atau Partai Buruh Nasional Sosialis Jerman). NSDAP menjadi terkenal
berkat kemampuan pidato-pidato Hitler. Bagi kaum Nazi, buku tulisan Hitler, Mein Kampf (Perjuanganku) mrupakan buku
yang wajib dibaca (Marbun, 1983: 44-46). Nazisme diadopsi di Jerman antara
tahun 1933-1938.
Secara umum, fasisme dan nazisme bertitik tolak
dari konsep-konsep dasar tentang
1) Superioritas ras,
2) Elit dan kepemimpinan
yang karismatik,
3) Negara totaliter,
4) Nasionalisme,
5) Sosialisme dan
6) Militerisme (Hayes, 1973: 19).
Pertama, tentang superioritas ras, konsep ini pada
umumnya digunakan negara-negara industri di Eropa Barat menjelang PD I untuk
menemukan wilayah dan pasar di luar
negeri. Di antara negara-negara itu, seperti Jerman dan Inggris menggunakan
teori keunggulan ras untuk menyembunyikan tujuan ekonomi-politik mereka. Ide
atau konsep keunggulan ras selanjutnya mendorong pemikiran-pemikiran atau
konsep “negara unggul”, di mana ide-idenya ditopang oleh teori geografi politik
seperti teori dari MacKinder, Ratzel dan Karl Haushoffer. Keseluruhan konsep
baik itu tentang keunggulan ras, negara unggul dan geografi politik ini
nantinya menjadi justifikasi ilmiah bagi gerak ekspansi Jerman di bawah Hitler,
tepatnya menjelang PD II.
Secara khusus, konsep keunggulan ras tidak
ditekankan dalam pemerintahan fasis di Itali namun menjadi semacam doktrin di
Jerman dan Rusia (di kedua negara ini, populasi Yahudi cukup besar). Dampak
dari konsep yang bahkan menjadi mitos ini adalah lahirnya anti-Semitisme
(anti-Yahudi). Kaum Nazi berhasil mempropagandakan anti-Semitisme, di mana kaum
Yahudi dituding sebagai penyebab masalah ekonomi-sosial yang menghalangi
dominasi bangsa Jerman terhadap bangsa-bangsa Eropa.
Kedua adalah tentang elit dan pemimpin yang
karismatik, konsep ini lahir dari situasi masyarakat yang dilanda kahancuran
dan ketidakpastian sosial-ekonomi. Dalam situasi seperti ini, masyarakat
membutuhkan pemimpin yang mampu mengangkat harga diri bangsa dan memberi
harapan. Mussolini maupun Hitler mampu menarik dukungan massa karena keduanya
mampu memberi harapan dengan mempropagandakan bahwa bangsa mereka adalah bangsa
elit yang ditakdirkan menguasai Eropa dan dunia. Untuk itu diperlukan pemimpin
yang tegas dan kuat. Pemimpin harus memiliki otoritas luas dan disegani. Konsep
pemimpin yang karismatik dan kuat inilah yang kemudian mengakibatkan lumpuhnya
demokrasi karena kekuasaan pemimpin yang tanpa batas.
Ketiga adalah konsep negara totaliter,
negara-negara yang menganut fasisme dan nazisme tidak mengenal demokrasi dan
lebih menekankan negara totaliter. Dalam negara model ini, kemajemukan bangsa ditiadakan, negara mengontrol mass
media, mengawasi serikat pekerja, partai politik oposisi dilarang, dan
sebagainya.
Keempat adalah militerisme. Seiring dengan konsep
tentang negara totaliter di mana negara mendominasi seluruh kehidupan warga
negara, maka peran militer pun menjadi dominan. Militer merupakan organ negara
yang berperan penting dalam menjalankan kekuasaan Negara. Hal ini dapat dilihat
dari organ-organ SS (Schutzstaffel),
organ partai NSDAP Jerman yang bertugas mengontrol kehidupan warga.
Kelima adalah nasionalisme. Nasionalisme merupakan
ide yang sangat berpengaruh dalam fasisme dan nazisme karena nantinya, dalam
gerakan, fasisme selalu berupa gerakan nasionalis. Hal ini dapat dilihat dari
gerakan fasis dan nazi di Itali maupun Jerman, kedua negara ini meyakini adanya
keharusan untuk membuat kebijakan-kebijakan luar negeri yang agresif. Namun
demikian, nasionalisme yang dianut kaum fasis adalah dalam bentuk yang radikal
yaitu chauvinisme, seperti terlihat dari ajaran tentang keharusan negara untuk
melakukan aneksasi serta memegang teguh machtpolitik
(politik berdasarkan kekuasaan).
Keenam adalah sosialisme, dalam fasisme terkandung
ide sosialisme namun sosialisme kaum fasis tidak mengacu pada Marxisme
melainkan lebih pada pemikiran-pemikiran tentang pemerataan ekonomi. Adapun
tujuan ekonomi ini difokuskan untuk mendorong kemampuan ekonomi seluruh unsur
bangsa agar menjadi bangsa unggul. Pada umumnya, sosialisme di negara-negara
fasis mengijinkan usaha-usaha kelompok swasta tetapi negara tetap menguasai
bidang-bidang semacam transportasi.
Fasisme dan nazisme kehilangan dukungan massa
seiring dengan berakhirnya PD II, tepatnya setelah Jerman dan Itali kalah
perang. Selain itu, kemampuan negara-negara Eropa Barat membangun diri menjadi
negara-negara makmur serta adanya hukum internasional yang mengatur perilaku
ekspansif negara-negara di dunia ini juga turut melemahkan kedua ideologi
tersebut. Yang menarik, selama tahun 1990-an, di Jerman muncul gerakan Neo-Nazi
yang dimotori kaum muda, mereka melakukan kerusuhan-kerusuhan. Namun
tindakan-tindakan semacam itu lebih dipahami sebagai bentuk ketegangan sosial
dan tidak berakar pada ideologi politik, walaupun seringkali kelompok ini
mengunakan simbol-simbol Nazi.
h).
Feminisme
Feminisme sebagai suatu pemikiran dan gerakan
lahir di sekitar abad ke-18, tepatnya setelah Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi
Perancis (1792). Pemikiran ini lahir karena didorong oleh realitas di
masyarakat, di mana posisi perempuan pada masa-masa tersebut kurang beruntung
dibandingkan dengan posisi laki-laki. Pada masa ini, perempuan (baik dari kelas
menengah – atas ataupun kelas bawah) tidak memiliki hak-hak seperti
1) Hak untuk mendapat pendidikan,
2) Hak
untuk memilih dan dipilih (hak politik),
3) Hak untuk memasuki lapangan
pekerjaan di masyarakat, khususnya pada perempuan dari kelas menengah–atas,
4) Hak atas harta milik, akibatnya perempuan yang menikah tidak memiliki harta
sendiri yang sah dan segala harta yang diperolehnya secara legal menjadi milik
suaminya.
Sebagai akibat dari tiadanya hak-hak tersebut,
maka perempuan tidak dapat masuk ke perguruan tinggi, parlemen, kantor-kantor
dan tidak memiliki kedudukan yang sama
dengan laki-laki di hadapan hukum. Kondisi seperti ini pada akhirnya menimbulkan kesadaran akan
ketidaksetaraan hak-hak perempuan dengan hak-hak laki-laki dan kemudian
mendorong adanya pemikiran serta gerakan untuk menuntut hak-hak perempuan.
Gerakan feminisme mula-mula berlangsung di Amerika Serikat yang kemudian
menyebar ke Perancis dan Inggris. Gerakan ini dimotori oleh perempuan kelas
menengah-atas dengan tuntutannya yang terkenal yaitu kesetaraan hak dengan
laki-laki di dunia kerja, lapangan pendidikan dan hak untuk memilih dan
dipilih.
Salah satu tokoh pemikir yang berpengaruh dan
berperan dalam mendorong kesadaran akan nasib perempuan pada saat itu adalah
Mary Wallstonecraft dari Inggris. Pada tahun 1792, ia menerbitkan buku Vindication of the Rights of Woman. Lima
puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1848, pemikiran-pemikiran
Wallstonecraft dimuat dalam konvensi hak-hak kaum perempuan yang diadakan di
Seneca Falls, AS.
Dalam sejarah gerakan terdapat satu gerakan
perempuan yang dilandasi oleh gagasan sosialis dengan tokoh pemikir seperti
Clara Zetkin (1857-1933) dan Charlotte Perkin Gilman ( 1860-1935). Kedua tokoh
ini memandang bahwa tuntutan-tuntutan feminisme sebenarnya bukanlah kesetaraan
hak dengan laki-laki semata tetapi juga meliputi perubahan secara total
terhadap tatanan masyarakat yang penuh dengan ketidak adilan. Dengan demikian,
ideologi feminisme yang bercorak sosialis mengarah pada penciptaan Dunia Baru
yang berkeadilan dan tanpa penindasan.
Pada abad ke-21 ini, perempuan telah menikmati
hasil perjuangan gerakan feminisme. Pada saat ini tidak banyak orang yang masih
mempertentangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, mendapatkan
perlakuan yang sama di depan hukum, mendapatkan pekerjaan di masyarakat ataupun
dalam hak-hak politik. Namun demikian, bukan berarti kelompok perempuan telah
terbebas dari diskriminasi sama sekali, seperti yang terjadi di Indonesia
misalnya, gerakan perempuan masih harus berjuang untuk mendukung pembuatan
undang-undang perlindungan. Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi
perempuan dari dampak pekerjaan yang merugikan seperti kecelakaan kerja, upah
rendah dan jam kerja yang panjang.
Adapun peraturan-peraturan lain yang diperjuangkan
meliputi; penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perlindungan
terhadap pekerja rumah tangga anak (untuk anak perempuan usia dibawah 15
tahun), perlindungan terhadap perdagangan perempuan dan anak (trafiking),
perlindungan terhadap perempuan dan anak yang dilacurkan (PYLA / AYLA) dan
korban-korban pemerkosaan.
i).
Ekologisme
Semenjak berakhirnya Perang Dingin antara Blok
Barat dan Timur di akhir tahun 1990-an, isu-isu global didominasi oleh isu-isu
tentang globalisasi, ledakan populasi, kemisikinan di Dunia Ketiga dan
lingkungan hidup.
Sebagai isu global, masalah lingkungan hidup
merupakan salah satu yang terpenting. Hal ini dapat dilihat dari diadakannya
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth
Summit) tentang lingkungan dan
pembangunan pada tahun 1992 di Rio de Jeneiro. KTT ini dihadiri 100 kepala
negara, 172 perwakilan resmi negara, 14 ribu organisasi non pemerintah dan
diliput oleh lebih dari 8000 wartawan dari seluruh dunia.
Beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam KTT ini
adalah konvensi tentang lingkungan dan pembangunan, konvensi perubahan iklim
dan konvensi tentang keanekaragaman hayati. Kesepakatan-kesepakatan ini tentu
saja memberi harapan bagi penyelamatan dan kehidupan lingkungan. Namun yang menarik untuk dicermati adalah apa yang
dicapai melalui KTT tersebut merupakan hasil perjuangan dan pemikiran yang tak
kenal lelah dari semua pihak yang sangat peduli terhadap kelestarian
lingkungan. Untuk mendalami masalah lingkungan ini maka ditampilkan satu
ideologi yaitu ekologisme atau ekologi politik. Di sini perlu dibedakan
terlebih dahulu antara ekologisme dan environmentalisme. Keduanya peduli
terhadap lingkungan hidup namun perbedaannya terletak pada cara pandang.
Kelompok environmentalis bertindak berdasarkan gejala kerusakan lingkungan,
sementara kaum ekolog lebih menekankan pada keterkaitan faktor-faktor ekonomi
dan politik dengan degradasi lingkungan sehingga menimbulkan keyakinan bahwa
kerusakan alam bisa diperbaiki melalui kerjasama dengan para industrialis.
Sebaliknya, kelompok environmentalis berpandangan untuk membongkar jalinan
ekonomi politik tersebut. Dalam kehidupan aktual, publik sebenarnya tidak
terlalu membedakan keduanya dan bahkan menyamakan politik hijau (green politic) dengan ekologisme. Hal
ini terjadi karena publik terbiasa melihat gerakan kelompok hijau sebagai
kelompok penekan di tingkat internasional seperti Greenpeace dan Friends of
Earth.
Sebagai sebuah ideologi politik kontemporer,
ekologisme merupakan reaksi terhadap proses industrialisasi yang cenderung
memperluas produksi dan konsumsi tanpa mempedulikan keterbatasan bumi. Cepat
atau lambat, proses produksi akan menghabiskan sumber daya alam melampaui
kemampuan bumi untuk menyerap pembuangan zat-zat beracun, bila hal ini
dibiarkan maka kualitas hidup manusia akan semakin memburuk.
Pada masa modern ini, masyarakat industri di
negara maju dan kemudian diikuti oleh negara-negara berkembang berlomba untuk
mempercepat produksi dan meningkatkan
konsumsi demi tercapainya kemakmuran. Dampak dari segala proses ini
adalah pengurasan isi bumi (penggunaan energi fosil seperti batubara, minyak
dan gas) dan penciptaan polusi yang tak
terkendali (sebagai akibat limbah gas seperti karbon dioksida dan metana),
Fritz Schumacher dalam The Small is
Beautiful memperlihatkan bawha industri modern dengan segala kecanggihan
intelektualnya telah menghabiskan unsur-unsur yang paling dasar di mana
industri dibangun.
Industrialisasi pula yang membentuk cara berpikir
manusia yang bertumpu pada “modal”.
Modal dipandang sebagai sesuatu yang diciptakan manusia dan dapat dihabiskan
atau diinvestasikan. Dari sudut pandang ekolog maupun environmentalis, bumi dan
sumberdayanya tidak dapat diperbaharui, keduanya merupakan modal yang tidak
diciptakan manusia dan tentu saja tidak dapat ditingkatkan. Jadi, ekologisme di
sini bertujuan untuk membangun kepedulian terhadap hubungan antara manusia
dengan lingkungan serta antara manusia dengan dirinya sendiri.
Hasil gerakan lingkungan hidup baik dari kelompok
environmentalis maupun ekolog telah membuahkan kesadaran global akan
masalah-masalah lingkungan hidup seperti pemanasan global. Gerakan-gerakan
tersebut juga berhasil mendorong pengurangan atau penghentian penebangan hutan
yang tujuannya
1) Menghindari kelangkaan bahan genetika bagi pengembangan
obat-obat baru,
2) Menyerap karbon dioksida,
3) Membantu mengurangi pemanasan
global,
4) Mencegah erosi,
5) Melidungi suku-suku pribumi dari kehancuran
lingkungannya dan
6) Menjadi wahana kontemplasi terhadap keindahan yang
ditumpulkan oleh industrialisasi.
0 komentar:
Posting Komentar