Sebagaimana
diuraikan terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan
orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke
personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Rumusan
delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.
b. Dalam
pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
1. pidana
pokok :
a. pidana
mati
b. pidana
penjara
c. pidana
kurungan
d. pidana
denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
2. pidana
tambahan :
a. pencabutan
hak-hak tertentu
b. perampasan
barang-barang tertentu
c. dimumkannya
keputusan hakim
Sifat
dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat
dikenakan pada manusia.
c. Dalam
pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada /
tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat
dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
d. Pengertian
kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam
batin manusia.
Dalam
perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan
tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan
menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat
dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain.
Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu
fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan
diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut
campurnya.
Keterangan
: di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van
bewijslast).
Dalam
KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka
korporasinya. Vide pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”,
dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas
dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Bahwasanya
yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan
(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya
dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam
hukum positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi”
(S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan
yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut
dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal
25 ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1
dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.
Pompe
(hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan
dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian
untuk problem dalam materi baru ini”.
Van
Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini
agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan
terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum
pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.
Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa
menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan tindak pidana, ya bahkan
kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat, bahwa korporasi
dapat mempunyai kesalahan dan bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak
adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van Hattum menulis a.l. :
(terjemahan) …………. sebaiknya pembentuk undang-undang membuat
ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu
korporasi.
0 komentar:
Posting Komentar