Krisis Budaya Nasional Indonesia Di Tengah Arus Globalisasi

Krisis Budaya Nasional Indonesia Di Tengah Arus Globalisasi

Ketika frame berpikir kita diarahkan untuk memasuki era Millenium ke tiga, maka mata kita akan

tercengang melihat segala sesuatu yang terekam dalam pikiran tat kala kita melihat pergerakan benda-benda luar angkasa dan pada saat bersamaan salah satu meteor bergerak kearah kita,
dan tanpa sadar tiba-tiba kita berteriak lalu terjungkal jatuh kelantai menimpah kakak kita yang
sedang menikmati nasi tumpeng hasil dari kenduri hajatan tetangga sebelah. Illustrasi di atas
merupkan hasil pengaruh perekayasaan gambar televisi berteknologi 3D. Abad millinium ketiga
adalah abad berperannya teknologi canggih dalam kehidupan manusia, dimana perangkatperangkat
teknologi yang menyertai segala macam aktifitas manusia telah berganti dari sistem
manual menjadi sistem digital. Kehadiran teknologi digital ditengah aktifitas manusia telah
menunjukkan tingkat peradaban manusia pada titik kulminasi eksperimentasi teknologi, di mana
kenyataan ini menegaskan bahwa perangkat “teknologi digital” telah menggeser pemahaman
“logika matematis” konvensional. Dengan demikian akan terjadi pengkaburan persepsi antara
“akal manusia” yang menghasilkan persepsi dengan “akal buatan” yang menghasilkan teknologi,
dan akibatnya dampak realitas yang terlahir adalah jarak “rohani” menangkap suatu peristiwa
yang tadinya dibatasi dari layar monitor ke mata, kini lebih dekat lagi sampai ke lensa mata, dan
semakin mendekat lagi hingga “diri kita” telah masuk dan dipermainkan oleh mesin-mesin
canggih melalui perangkat Cyber Virtual Digital.

Modernisasi yang dikumandangkan di berbagai belahan dunia, tanpa disadari akan melahirkan
budaya baru dengan mengusung atas perkembangan dan berperannya teknologi dalam proses
kelengsungan kehidupan manusia itu sendiri, sehingga peradaban yang terlahir menjadi gegap
gempita dan luar biasa. Berbagai macam karya-karya imajinatif yang dihasilkan dari sentuhan
system teknologi digital telah merubah peradaban dunia menjadi lebih megah dan dinamis.
Segala macam benda-benda yang menjadi pendamping dan alat beraktifitas manusia mulai dari
tempat tinggal, transpotasi serta hiburan sampai gaya hidup, kini telah menunjukkan pergeseran
dari mekanik ke elektrik. Revolusi teknologi makin menguasai dunia ketika teknologi informasi
menunjukkan keberadaanya. Kenyataan ini menegaskan bahwa, berperannya kehadiran
teknologi informasi dalam relung-relung kehidupan manusia, membuat sesuatu yang tadinya
ada sebatas angan-angan di ”dunia maya”, kini telah menjadi suatu hal yang seolah-olah
menjadi ”realitas sebenarnya”, bahkan komunikasi antar manusia semakin lebih dekat. Pada
awalnya persepsi manusia menyatakan, bahwa dunia ini sangat luas dan untuk berkomunikasi
tentunya diperlukan waktu yang panjang dan berliku-liku dalam proses operasionalnya. Namun
persepsi itu kini argumentasinya dapat dipatahkan, karena pada kenyataannya kini luasnya
dunia bahkan sampai jagat rayapun seolah-olah berada dalam satu genggaman tangan.
Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa peralatan teknologi informasi dengan
berbagai kecanggihannya yang terlahir, akan membawa arus informasi dunia dan komunikasi
antar negara telah terkoneksi melalui jaringan teknologi informasi cyber digital yang terhubung
antara negara satu dengan negara lainnya secara on line, hingga arus informasi yang ada di
dalamnya telah menyebar ke seluruh dunia dan kini keberadaannya sulit dibendung lagi penyebarannya, inilah yang sering terdengar oleh kita dengan istilah “globalisasi”.

Globalisasi muncul sebagai pergerakkan pemikiran manusia untuk ingin mengetahui isi dunia.
Secara teoretis globalisasi juga dapat dikatakan sebagai penggambaran dari teori evolusi yang
telah dikemukakan oleh Darwin dengan pergerakan perkembang biakan pertumbuhan dari
hewan primata itu menjadi asal mulanya manusia. Demikian juga dengan istilah globalisasi merupakan penggambaran dari puncak perubahan peradaban manusia yang telah menunjukkan
pergerakannya. Kenyataan ini dapat diillustrasikan bahwa manusia mengalami pergerakan
dalam melangsungkan kehidupannya, dimulai dari kehidupan zaman primitif dimana kehidupan
bergantung pada kondisi alam. Kemudian bergerak ke zaman roda, setelah mesin ditemukan
masuklah kehidupan zaman mekanik, dimana aktifitas manusia diimbangi dengan peralatan
berteknologi manual. Revolusi industri dan ditemukannya teknologi elektrik dengan
menggunakan kekuatan listrik sebagai sumbernya, membuat manusia terus bereksperimentasi
dengan teknologi untuk menciptakan sesuatu yang baru, sampai pada akhirnya dihadapkan
dengan situasi zaman modern. Modernisasi yang dilakukan secara besar-besaran dalam dunia
teknologi hingga melahirkan teknologi digital yang memungkinkan manusia masuk dalam “dunia
maya” seperti sekaranag ini kita rasakan. Kenyataan ini menyatakan bahwa lahirnya teknologi
terkini membuat manusia semakin mudah untuk mewujudkan ide imajinatifnya segila apapun,
dengan mudah dapat terwujudkan. Sehingga persepsi tentang suatu realitas yang ada dan
tiada sangat tipis bedanya. Hal ini disebabkan oleh “perkembangan teknologi informasi
memungkinkan manusia hidup dalam ruang di mana mitos “ada” menjadi dunia citraan media
massa” (Heidegge, 1999).

Teknologi informasi yang lahir dan dibesarkan di dunia barat, telah lebih banyak diterapkan oleh
kelompok kapitalis yang menguasai pasar industri. Dunia industri dengan segala macam
pengetahuan yang terlahir telah memaksa teknologi informasi berada dipihaknya hingga
peradaban yang terlahir adalah tangan-tangan pengedali pasar industri. “Globalisasi telah
menjadi kekuatan yang membutuhkan respons tepat karena ia memaksa suatu strategi
bertahan hidup (survival strategy) dan strategi pengumpulan kekayaan (accumulative strategy)
bagi berbagai kelompok dan masyarakat” (Featherstone,1991). Kenyaan ini memberi dampak
bahwa proses yang terjadi telah membawa pasar dunia industri dengan segala macam bentuk
dan format operasionalisasinya menjadi suatu kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan
tatanan sosial yang bertumpuh pada prinsip-prisip perekonomian kian padat dan canggih dalam
operasionalisasinya. Dari dampak yang ditimbulkan, telah mempengaruhi realitas jangkauan
pasar industri telah mewabah keseluruh dunia melalui jaringan cyber multimedia digital termasuk
Indonesia yang tak luput dari efeknya.

Gencarnya arus globalisasi dengan diikuti hadirnya kecanggihan teknologi di dalamn
penerapannya yang menerpa Indonesia, membuat lahirnya peradaban menuju kearah dunia
barat. Lahirnya modernisasi di dalam masyarakat kita telah sedikit banyak merubah cara
pandang dan pola hidup masyarakat, sehingga peradaban yang tercipta merupakan duplikasi
budaya masyarakat barat yang cenderung berjiwa konsumtif dan hedonis. Berbagai macam
fenomena kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakat dewasa ini, telah mengilustrasikan
suatu keadaan yang mencerminkan layaknya kehidupan masyarakat dunia barat. Pola ini
memang sengaja dilakukan oleh para penguasa media yang melahirkan dan mempopulerkan
pola hidup semacam itu lewat pengaruh produknya yang notabene sebagai cerminan
kebudayaan lebih modern serta digembar-gemborkan melalui berbagai macam jejaring medianya
hingga masyarakat bertekuk lutut, lalu meniru secara mentah-mentah tanpa adanya koreksi diri
dari produk lansiran kaum kapitalis itu. Industri media yang menguasai jaringan cyber digital space itu, memang telah sengaja mengobrak-abrik tatanan hidup bangsa Indonesia yang terkenal satun itu, dan telah menjadi bagian dari jatidiri bangsa Indonesia selama ini, kini diganti
dengan kebudayaan seronok, berperilaku rusak, dangkal pemikiran, berjiwa pragmatis, instanis,
konsumtif serta hedonis.

Realitas kehidupan yang terjadi dari masuknya arus globalisasi dengan intensitas tinggi itu,
sedikit banyak berimplikasi pada sendi-sendi kehidupan bangsa yang dahulunya dikenal luhur
budi pekertinya itu, kini telah teracuni oleh faham-faham yang datangnya dari luar. Dalam situasi
bersamaan masuknya jaringan informasi digital international yang mengusung pernik-pernik
kehidupan berdasar pada masuknya bermacam-macam ideologi diantaranya kapitalisme,
libaralisme, materialisme, pragmatisisme, hedonisme, telah menjilma menjadi sosok-sosok
pencari sensasi kehidupan melalui jaringan cyber multimedia space berteknologi digital.
Mudahnya pengaksesan situs-situs jaringan internet oleh insan negeri ini dari anak-anak,
remaja, eksekutif muda, bahkan orang tua sekalipun pada situs-situs website jaringan
international dengan kompleksitas content di dalamnya tanpa bisa lagi membedakan mana baik
dan buruk termasuk mengantisipasi arus pergerakkannya.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dalam arus globalisasi yang tinggi intensitasnya
dan tidak di imbanginya dengan penanaman ideologi bangsa yang kuat dan kualitas pendidikan
yang memadahi dari penyelenggara negara pada rakyatnya, menyebabkan bangsa ini hanya
melahirkan insan – insan yang gila akan pragmatisisme dan konsumerisme, hingga bangsa ini
telah menjadi bangsa berjiwa konsumtif dan hedonis yang gila akan barang-barang semata,
tanpa mau belajar bagaimana cara barang itu diciptakan dengan kualitas baik. Dari kenyataan
ini, membuktikan bahwa dunia pendidikan kita tidak dirancang dan diintegrasikan dengan dunia
industri yang mengusung teknologi canggih, sebagai jalan menuju suksesnya kemandirian suatu
bangsa, hingga masyarakatnya menjadi bodoh, karena tidak bisa berpikir dengan jernih mana
yang baik dan mana yang kurang baik dalam memandang global information yang setiap detik
hadir dan menyebarkan virusnya di tengah-tengah masyarakat kita. Lihatlah realitas kehidupan
telah dipenuhi oleh sosok penyebar kebudayaan barat dengan posisi mendominasi dari budaya
kelokalannya di tengah masyarakat. Tengok saja sekumpulan eksekutif muda dengan
keharuman parfum wangi bunga sedap malam telah berdiskusi dalam suasana alunan musik
klasik hasil gesekan biola Mozart di salah satu sudut ruangan “Americano Cafe” yang bergaya
Amerika itu. Segerombolan anak muda berambut Punk, suatu gaya rambut model kulit duren
dengan segudang atribut pernik-pernik dari metal itu, telah nongkrong dan bernyanyi ria di
bawah jembatan layang jalan wakidun. Para remaja putri dengan pakaian seronok, bercelana
ketat serta mengumbar pusernya terlihat jelas di pelataran Soeparno Plaza. Para pasangan
ABG dengan model rambut ke coklat-coklatan mirip buah jagung yang membesar dari
tangkainya itu, telah bermesraan dan berangkulan seenaknya sendiri di tempat umum “Mbah
Dipowinangun Plaza”, tanpa ada rasa malu di dalam dirinya. Banyaknya para ABG berperilaku liar
duduk mojok ditempat sepi sambil tangnanya cowal-cawil kesana kemari… ya… anda bisa
bayangkan sendiri… apa yang telah dilakukannya… Begitu banyak fenomena-fenomena
kehidupan yang terjadi di masyarakat baik remaja, eksekutif muda maupun orang tua dengan
mentalitas paradok dari kehidupan seharusnya sebagai warga negara yang menjunjung budaya Indonesia sendiri dimana sopan santun dalam berperilaku diperlakukan di masyarakat.

Perilaku-perilaku kontradiksi dari budaya nasional Indonesia telah membekas dalam jiwa generasi
muda merupakan hasil replika kebudayaan barat melalui transformasi budaya salah kaprah dan
digembar gemborkan oleh jaringan media digital dengan segala macam bentuk rupanya itu telah
mendominasi dalam kehidupan masyarakat dewasa ini hingga budaya leluhur bangsa
Indonesia dalam kaca mata Ideologi Pancasila tergilas dan terlempar menggelepar klepek-klepek
dan tak berdaya menghadapinya lalui lunglai dan tidur pulas entah kemana rimbahnya

1. Lunturnya Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Pancasila sebagai dasar sistem filsafat bangsa hendaknya dikembangkan sebagai “filsafatkritikal”, karena Pancasila sebagai satu satunya ideologi bangsa Indonesia mempunyai sifat terbuka dan dapat dikembangkan pemaknaan baru yang terkandung di dalamnya, hal ini sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia yang selalu berkembang sesuai dengan tuntutan meningkatnya peradaban manusia. Kenyataan ini berdasar bahwa Pancasila bukannya suatu ideologi bangsa yang bersifat konservatif, namun sebuah ideologi yang mampu membuka wacana pemikiran progresif dan membuka ruang kritik terhadap segala penyelewengan dan pengingkaran yang ada di dalamnya. Masalahnya adalah ketika suatu kritikan atau masukan yang dilontarkan kepadanya, tanpa pengkajian yang konstruktif dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, hingga ruang wacananya sering kali menyimpang dari dasar dasar bahkan ada yang menentang, meragukan dan menolaknya. Ini adalah sikap yang tidak bisa diterima di dalam suatu kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakatsementara tingkah laku atau perilaku yang ditampilkan tidak bercermin sebagaimana mestinya dan bertolak belakang dengan Ideologi Negaranya, padahal dia berharap hidup tentram dan bergantung kepadanya…!!!

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan ketimpangan atau pengingkaran
terhadap ideologi Pancasila melalui berbagai macam perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat :
1. Apakah relevansinya semangat mengoreksi Ideologi kebangsaan, jika Masyarakat di dalamnya tetap berkehidupan menderita, miskin, dan serba susah ?

2. Untuk Apa kita mencintai Negara kita sendiri, jika para pemimpin dan elit bangsa ini hidup
berpoya-poya demi kemauan sendiri, sementara sebagian besar masyarakat lainnya hidup menderita dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak ?

3. Untuk Apa kita mencintai Negara kita sendiri, sementara para pemimpinnya serta para elit politik berkolaborasi dengan kekuatan asing mengeksplorasi kekayaan alam demi menguntungkan segelintir orang saja atau kelompok saja ?

4. Untuk apa kita menghargi Negara atau kekuasaan, jika tindakan kriminal berbagai bentuk menyusup ditengah-tengah kehidupan dalam segala macam versi tanpa ada tindakan hukum yang berarti, hingga menyebabkan terpuruknya bangsa ini ?

5. Untuk apa kami mengabdi pada Bangsa dan Negara ini, jika negeri yang kami pijak tidak memberikan rasa keadilan yang tegas pada rakyatnya ?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang perlu adanya renungan tentang lunturnya semangat kebangsaan dan pemahaman ideologi bangsa seiring dengan kencangnya arus globalisasi yang melanda negeri ini, dan tanpa sadar merubah pola pikir dan gaya hidup kearah kebarat-baratan yang notabene sebagai masyarakat lebih modern. Tanpa disadari masyarakat dewasa ini, tidakkah masyarakat kita telah memilih dan memiliki orientasi baru dalam berpikir dan berperilaku ? Suatu realitas kehidupan telah terlukis bahwa masyarakat dalam situasi dan kondisi bangsa yang serba kompleks dengan segala permasalahannya menyebabkan masyarakat menerapkan pola pikir yang pragmatis hingga melahirkan pragdigma baru dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang kebenarannya sangat diragukan dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap ideologi Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa Indonesia. Dan ironisnya para pemimpin dan elit bangsa negeri ini terus melakukannya dengan beragam cara…!!!

Sikap tanggap dan menumbuhkan semangat mengembangkan ideologi bangsa ini harus
ditumbuh kembangkan guna menciptakan gagasan besar dalam menyikapi realitas kehidupan
dewasa ini yang semakin mengglobal dengan kekompleksitasan problematika dalam ruang
keheterogenan masyarakat. Semangat pemahaman dan pengembangan ideologi Pancasila
akan terus melemah dan mungkin akan hilang dari pikiran masyarakatnya, jika para pemimpin
dan elit pemegang kekuasaan negara tidak memberikan perlindungan kesejahteraan yang layak
bagi rakyatnya. Permasalahan ini secara kasat mata telah berseliweran di depan mata kita,
masalah upah/gaji pendapatan yang tak berimbang dengan kebutuhan hidup, terbatasnya
lapangan kerja, masalah energi, BBM yang tumpang tindih dengan berbagai kepentingan dan
rendahnya mutu pelayanan publik pada masyarakat serta rasa keadilan yang tak pernah
hinggap pada insan negeri ini akan menjadi pemicu atas rendahnya kualitas pemahaman
terhadap ideologi Pancasila dan bukan tidak mungkin akan mengabaikan begitu saja
keberadaanya. Selama penguasa tidak mampu mengelolah negara dengan kualitas lebih baik
dan efektif, maka akan menjadi suatu masalah besar bagi bangsa ini, karena kesemuanya itu
akan menumbuhkan rasa apatis dan melemahnya kepercayaan rakyat terhadap negaranya
sendiri, kalau sudah begini… terus mau apa untuk menaikkan pamor Pancasila sebagai satusatunya
pandangan hidup bangsa Indonesia tercinta?

Fenomena atas tumbuh suburnya faham pragmatisme, konsumerisme, hedonisme serta
kapitalisme dalam praktik-praktik sosial masyarakat akan terus menggulirkan suatu pertanyaan
dan mengalirkan racunnya ke benak pikiran masyarakat sampai nantinya berkata, apa
untungnya memikirkan rasa nasionalisme, semangat kebangsaan, pelestarian dan pengamalan
ideologi Pancasila selama perut dari rakyat ini sangat lapar sekali… heeeiii…?. Generasi muda
Indonesia dewasa ini lebih cenderung berbicara gaya hidup ketimbang berbicara masalah
nasionalisme dan kebangsaan serta ideologi negara. Hidup jujur dan tidak jujur sama saja
hasilnya, berperi laku sopan dan maling berdasi gak ada bedanya dan yang konyol lagi lebih baik
menipu daripada tertipu. Berbicara rasa keadilan yang berujung pada penegakan hukum di
Indonesia adalah semu belaka, karena pada kenyataannya para penegak hukum sudah menjadi
aktor perdagangan perkara, sehingga keadilan yang tercipta adalah menjadi alat komoditi
kekuasaan. Kalau keadaan realitas kehidupan di Republik ini sudah begini, lalu untuk apa lagi
kita mencintai negeri ini yang jelas-jelas mengenyangkan bagi kelompok-kelompok yang dekat
dengan pengambil keputusan?

Rakyat Indonesia memang telah merebut kemerdekaan dari para penjajah dengan pengorbanan
jiwa raga serta darah yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa ini sebelumnya. Apakah
kemerdekaan warisan dari para pejuang dan pendiri bangsa ini dapat kita rasakan sekarang?.
Kenyataannya kemerdekaan yang telah kita raih dengan susah payah tidak mampu menjamin
kesejahteraan rakyatnya. Di balik kemerdekaan itu telah melahirkan tingginya kemiskinan,
kebodohan, penjajahan manusia oleh manusia, diskriminasi, penggusuran rakyat yang lemah,
praktik ketidakadilan, tindakan rasial, rendahnya kesejahteraan hingga pada akhirnya
kemerdekaan belum menberikan nilai serta makna yang diharapakan. Begitu banyak jargonjargon
yang diwacanakan sebagai bentuk perwujudan atas terciptanya kesejahteraan rakyat,
namun realitasnya berkata lain. Kondisi bangsa ini justru mengalami keterpurukan begitu dalam hingga menimbulkan krisis nasional dalam skala multidimensi, hal tersebut disebabkan oleh
tingginya praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme yang berimbas atas lahirnya garong-garong
dalam segala situasi dan kondisi. Banyaknya maling-maling berskala besar di tingkat atas para
elit politik dan pemegang kekuasaan, merupakan wujud nyata dari pengingkaran dan
penyimpangan atas ideologi bangsa serta tatanan hidup yang telah dilahirkan oleh para
pendahulu bangsa ini.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini, masyarakat rawan dengan tindakan pragmatis dengan
caranya sendiri, hal itu disebabkan timbulnya rasa kekecewaan terhadap ketidak mampuan
negara dalam menciptakan kesejahteraan yang berpihak kepadanya, hingga pada akhirnya
kehilangan jatidiri bangsa. Dan “ketika terjadi krisis tentang jatidiri bangsa, maka masyarakat
tidak peduli lagi tentang ideologi bangsanya, karena dianggap tidak berpihak kepadanya dan
mencoba mencari-cari ideologi lain termasuk memuja-muja bangsa lain dari berbagai aspek yang
mereka pahami dan dengan serta merta caranya sendiri, mereka terapkan dalam kehidupan
sehari-hari” (Naya Sujana, 2008). Sebuah krisis jatidiri bangsa ini akan selalu tumbuh dan
berkembang seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi yang menerjang negeri
ini, sehingga faham-faham konsumerisme, pragmatisisme, liberalisme, materialisme, kapitalisme
dan hedonisme yang berasal dari dunia barat akan selalu meracuni masyarakat negeri ini dan
lambat laun tercipta krisis moral dan ahklak yang berkelanjutan hingga timbul mental moralitas
paradoks yang melahirkan lingkungan masyarakat munafik.

Sejak keruntuhan rezim orde baru, masyarakat mempunyai sikap apatis dan enggan
membicarakan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, karena Pancasila dianggap gagal
membentuk watak manusia Indonesia seutuhnya. Simolasi P4 dan penatarannya yang telah
dilakukan sepanjang tahun tidak mampu atau dianggap gagal dalam menciptakan manusia yang
ideal seperti harapan dari 36 butir makna-makna dalam Pancasila. Padahal diadakannya
penataran P4 bertujuan sangat baik yaitu bangsaIndonesiamempunyai jiwa “Good Citizen and
Strong Nation”. Namun masyarakat yang terlahir adalah justru sebaliknya, manusia manusia Indonesia kini berperilaku “Semau Gue”, ini jelas-jelas sebagai bentuk pengingkaran dari
ideologi bangsa yang semestinya. Realitas negeri ini dipenuhi oleh Jiwa-jiwa bengis saling tikam
antar sesama, mental korup, sikap hedonis, otak garong, mulut penipu serta kata-kata lain yang
intinya perilaku di luar kehendak dari makna-makna 36 butir penjabaran dari sila-sila Pancasila.
Kita tidak bisa membedakan lagi siapa yang bertanggug jawab atas keadaan ini apakah salah
oknom ataukah kelompok tertentu yang bermain atau… bahkan masyarakat kita semua ?.
Sampai kini belum ada pernyataan resmi dari siapapun, dan yang terjadi adalah semuanya
membisu, budeg dan tuli sengaja membiarkannya sampai bisul membesar hingga pecah
berantakan.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Serba Ada Blog Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger